PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Pendahuluan
Sunni , sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran (school of thought) yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of the sunnah), yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadith: "Ma ana 'alaih wa ashabi". Jama'ah berarti mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu 'ammah al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah al-kathir wa al-sawad al-'azm (jumlah besar dan khalayak ramai).
Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadith sebagai rujukan utamanya setelah al-Qur'an. Nama ahl al-hadith diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah wa-Jama'ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan merupakan antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau menerima al-hadith (al-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.
Pembahasan
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam menggulingkan dawlah Amawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Shi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Shi'ah (yang didominasi orang-orang Persia) dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani 'Abbasiyah berkuasa.
Kaum Shi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit.
Pada masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan Mu'tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluq (Mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya. Persilihan antara golongan ahl-al-Hadith (Sunni) dengan Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W. Montgomery Watt disebut sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu'tazilah) dengan kelompok Konstitusionalis (Sunni).
Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi'i munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Uthman dan 'Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan 'Ali.
Berbeda dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadith) dan Shi'ah selalu diwarnai demensi politik. Mereka berusaha bersaing untuk menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya adalah Khalifah al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang tidak adanya imam ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pelopor dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan Khalifah al-Muqtadir), yang menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran Sunni dan menyatakan bahwa negara melarang penyebaran doktrin "kemahlukan al-Qur'an" karena bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga yang perpaham Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun 1055 ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11 inilah dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni.
Pada saat itu juga telah dikembangkannya konsep kepemimpinan oleh para tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah harus dipilih oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain memperbolehkan penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil, berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim atau Umayyah.
Pandangan semacam tersebut bisa dilihat dari gagasan-gagasan yang telah dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang sekretaris negara di masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M) sebelumnya. Juga pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman al-Mahdi (775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Shi'ah. Hal yang perlu dicatat di sini adalah, meskipun bani 'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka mengadopsi teori Imamah-nya kaum Shi'ah untuk mendukung pemerintahannya.
Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Hingga puncak pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali:
"Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padeamu, dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu".
Kesimpulan
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Shi'ah dan Khawarij pada masa khalifah 'Ali ibn Abi Thalib.
Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik intelektual antara al-Syafi'I dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu'tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.
Diperlukan waktu hampir 5 abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi'in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.
Bibliografi
• Al-'Amid, Abd al-Razaq Muhammad Aswad,al-Muhal ila Dirasat al-Adyin wa al-Madhahib, juz 2, Bairut: Dar al-'Arabiyah li al-Mausu'at,1981. Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995.
• Nasution, Harun, Theologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
• Hasan, Ahmad, al-Ashafi'is Role in the Development of Islamic Jurisprudience, Islamic Studies vol 5, 1996. Hastings, James, at. Al., Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. XII, New York: Charles Scribner's Sons, 1955.
• Khan, Qamar al-Din, al-Mawardi's Theory of the State, Lahore: Bazm-I-Iqbal, tt. Kennedy, Hugh, The Prophet and the Age of the Calipathes, London: Longman, 1986. Spellberg, DA., Politics, Gender, and the Islamic Past, New York: Columbia University Press, 1994.
• Team, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
A.PENDAHULUAN
Dalam berbagai macam pemikiran politik yang akan dibahas dalam makalah ini, agar kita mengetahui beberapa pandangan-pandangan, masing-masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompoknya.
Suatu hal yang perlu dibahas dalam dunia berpolitikan Nabi muhammad SAW dalam prakteknya mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin baik negara madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting. Namun sangatlah penting menenai piagam madinah yang menjadi sebuah konstitusi daerah kepemimpinan Nabi muhammad SAW tidak menyebut agama negara. Pola pikir politik sangat perlu kepada pemerintah yang berkuasa, pemikiran-pemikiran politik cendrung membelah dan mempertahankan kekuasaan.
B. Pemikiran poliik sunni mengapa tema ini penting?
Karena untuk memahami dengan mengetahui isi makalah, dan apa yang akan dijelaskan dalam isi makalah karena makalah ini menceritakan tentang pemikiran politik sunni, syi’ah, khawarij dan muta’kzilah.
C. Pemikiran Politik Sunni
Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik sunni cenderung membelah dan mempertahankan kehidupan kekuasaan. Jarang pula pemikiran politik dan kewarganegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah namun atas pendapat ini mujar ibnu syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipersentasekan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu taimiyah telah merumuskan bahwa 60 tahun berada dibawah rezim penguasa zalim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Ibnu taimiya menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan untuk umat islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin berjalannya hukum-hukum tuhan. Sebagai konsekuensi dari kekuasaan kepala negara yang saklar, ibnu tamiya berpendapat bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya. Karena kekuasaan bersifat mutlak, tidak dapat digangu gugat oleh siapa pun. Bahkan ibnu tamiyah mengharamkan umat islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat pada Allah SWT. Bahwasannya sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.
Ciri didalam pemikiran politik golongan sunni ini adalah penekanan mereka erhadap suku quraisy sebagai kepala negara walaupun ibnu abi rabi’ tidak menyingungnya secara tegas, dan muhammad iqbal memasukan pemikiran yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku quraisy di dalam pemikiran politiknya.
D. Pemikiran Politik Syi’ah
Mengenai delahiran kelompok ini banyak sekali aneragamnya, sebagaiman dijelaskan oleh iqbal yang menyatakan bahwasannya syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi muhammad Swa telah mendominasikan dalam peraturan politik islam. Selanjutnya munawir sjadzali menyatakan titik awal dari lahirnya syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan abu bakar. Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi muhammad Swa yaitu pada saat perbuatan ;kekuasaan antara golongan muhajirin dan anshor di balai pertemuan sqifah bani sa’idah. Abu zugroh memperkuat atas pendapat dengan menyatakan bahawasannya syi’ah adalah mashab politik yag pertama kali lahir dalam islam mazhab mereka tampil pada akhir masa pemerintahan utsman, kemudian tampil pada akhir masa ali.
Kaum syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :
1. harus ma’saum ( terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat.
3. seseorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan.
4. imam adalah pembelah agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Nabi hanya menetapkan siat-sifat yang mustinya dimiliki seseorang imam yang akan menggantikan beliau. Kaum syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat khawalij yang mengakukan, ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Yaitu mengankat dan memutuskan pada tingkat ma’saum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasyiat nabi sebagai imam untuk pengganti nabi.
E. Pemikiran Politik Khawarij
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisakan diri dari barisan ali setelah arbitase atau tahkim untuk menerima yang mengakhiri perseruan dan kontak senjata antara ali dan mu’wiyah di siffin. Pengikut khawarij terdiri dari suku arab badu’I yang masih sederhana secara berpikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ektrim dan sulit menrima perbeaan pendapat dan di teragkan oleh ABU Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok khawrj pada umumnya terdiri atas orang arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal,sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpeah-pecah menjadi beberapa kelompok.
1. penangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasaran pelimihan yang benar- benar bebas dan di lakukan oleh semua umat islam tanpa deskriminasi.
2. Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga arab tertentu, untuk memegang jabatan kkhalifah.
3. pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyampaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengfangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan sya’ra tetapi hanya bersifat kebolehan.
Pengikut khawarij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemasalahatan manusia saja mereka mengangap kepala negara sebagai seseorang yang sempurna iqbal menjelaskan bahwasannya khawarij mengunakan mekanisme untuk mengontrol pelaksanan tugas-tugas pemerintahan.
F. Pemikiran Politik Mu’tazilah
Penamaan kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri. Tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan, pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri.
Penutup
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam islam. Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok sunni. Kedua, aliran teokrasi yang diawali oleh syi’ah. Ketiga , aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij dengan mengetahui politik masing-masing goloongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan diatas betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan-perbedaan.
Ibnu taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepala negara atau raja merupakan mandat dari tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, dan disebut pula bahwa pemikiran itu berpendirian khalifah adalah bayang-bayang Allah Swt dari bumi, disamping itu allah mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati mengagungkan dan menaati perintah karena sumber kekuasaan adalah tuhan Allah Swt.
Minggu, 11 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar