Minggu, 11 Januari 2009

etika politik

ETIKA POLITIK MENURUT AL-QUR'AN

ISLAM adalah sistem ajaran yang bersifat universal. Sistem ajaran Islam mencakup berbagai aspek kehidupan: aspek aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, dan siyasah. Aspek yang disebut terakhir masih menjadi perdebatan di kalangan para sarjana, baik sarjana muslim maupun non-muslim. Sebagian sarjana mengklaim bahwa Islam, bagaimana pun, tidak dapat dipisahkan dari politik.
Kelompok ini antara lain diwakili oleh Syeikh Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, Syeikh Muhammmad Rasyid Ridha, dan Abul A’la al-Maududi. Selanjutnya, ada sebagian yang berpendirian bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan politik. Dengan kata lain, Negara harus dipisahkan dari agama.
Kelompok ini, antara lain, dipelopori oleh Ali Abdul Raziq dan Thaha Husein. Sementara kelompok ketiga, menyebutkan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem politik atau ketatanegaraan; tetapi Islam memuat subtansi, seperangkat tata nilai, dan etika bernegara. Di antara pendukung kelompok ini adalah Muhammad Husain Haikal. Dengan munculnya berbagai pandangan tentang hubungan Islam dengan politik memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap pola pikir dan perilaku generasi muslim, baik secara individual maupun kelompok. Akibatnya, lahirlah berbagai macam aliran dalam pengamalan ajaran Islam, dari yang paling lembut, moderat, sampai yang paling ekstrem.
Masing-masing aliran (dalam kasus tertentu berupa gerakan dan
politik) ini mempunyai alas an tersendiri. Namun, semuanya bermuara kepada sumber utama Islam, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Kemudian, muncullah kajian-kajian komprehensif tentang makna syura, ‘adil, dawlah, amanah, khilafah, khalifah, dan jihad. Dari sini lahirlah berbagai konsep yang mempunyai karakteristiknya masing-masing dengan model dan pola yang unik baik dilihat dari segi penampilannya maupun sistem nilai (etika) yang dianutnya.
Menyikapi aneka ragam model gerakan Islam dan system politik ini, maka diperlukan kajian ulang tentang urgensi etika Qur’ani dalam berpolitik.

Urgensi dan Makna
Secara literal, etika berarti tatasusila, pola laku, atau tatacara pergaulan. Makna dasar dari etika ialah ethos (Yunani) yaitu adapt kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kata “etika” biasanya diartikan sebagai “sistem perilaku atau prinsip-prinsip moral.” Menurut The World Book Dictionary (1973: 219), “Ethics the study of standard of right and wrong; that part if philosophy dealing with moral conduct, duty, and judgement. Ethics is concerned with morality; a formal or professional rules of right and wrong; system of conduct or behaviour.”
Menurut definisi ini, yang dimaksud dengan etika ialah suatu ilmu yang mempelajari tentang Refleksi Historis Etika Politik Dalam Perspektif Al-Qur’an ukuran baik dan buruk; merupakan bagian kajian filsafat yang berkenaan dengan perilaku moral, kewajiban,
dan hukuman. Etika membahas masalah moralitas, aturanaturan formal tentang kriteria baik dan buruk; dan sistem tingkah laku manusia.
Etika sering disamakan dengan akhlak, namun ada sebagian ahli yang membedakannya. Ahmad Amin, misalnya, dalam Kitab al- Akhlaq mendefinisikan akhlak sebagai “ilmu yang menyelidikisegala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk.” Sedangkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (jilid 3), mengemukakan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang menimbulkan bermacam-macam pola laku secara spontan dan mudah; tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh kedua ahli ini terdapat kesamaan antara etika dan akhlak, yaitu sama-sama membahas kriteria baik dan buruk (right and wrong).
Dalam al-Qur’an, ada sekitar 500 ayat yang membicarakan tentang konsep atau ajaran etika. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya etika dalam sistem kehidupan manusia. Etika yang diajarkan al- Qur’an mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Allah. Figur yang menjadi contoh konkret dalam bidang etika ini adalah Nabi Muhammad SAW sendiri (al- Ahzab/33: 21 dan al-Qalam/68: 4).
Karena itu, dalam perspektif Islam etika tidak saja merupakan ajaran yang bersifat konseptual tetapi juga praktikal. Keberadaan Nabi Muhammad SAW sebagai figure keteladanan dalam bidang tingkah laku (behaviour) telah memberikan kontribusi penting dalam penerapan nilai-nilai etika yang dapat ditiru secara langsung oleh manusia. Nabi Muhammad SAW sendiri mengaku bahwa seluruh kandungan al- Qur’an adalah akhlaknya.
Dari sisi ini, al-Qur’an berarti kitab yang mengajarkan etika, akhlak, atau moral bagi kehidupan manusia. Maka, tidaklah mengherankan jika kajian etika politik pun dapat dirujuk kepada al-Qur’an (Basri et.al, 2002: 189). Dalam kaitan ini, Izutsu (1993:3), menyatakan bahwa “al-Qur’an mengandung pesan-pesan moral yang sangan sistematik; ajaranajaran tentang moral ini dapat dijadikan sebagai satu standar nilai yang dituangkan dalam bentuk etika Qur’ani.”
Etika Qur’ani mempunyai ciriciri tersendiri yang membedakannya dengan etika lain. Etika Qur’ani sekurang-kurangnya mempunyai lima ciri utama: pertama, rabbani; kedua, manusiawi; ketiga, universal; keempat, keseimbangan; dan kelima, realistik (Ilyas, 2000: 12)
Ciri rabbani menegaskan bahwa etika Qur’ani adalah etika yang membimbing manusia ke arah yang benar, jalan yang lurus atau sirath al-mustaqim (al-An’am/6: 153).
Ciri manusiawi berarti etika Qur’ani memperhatikan dan memenuhi fithrah manusia serta menuntunnya agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (al Rum/30: 30). Ciri universal ialah etika Qur’ani membawa misi kasih sayang kepada umat manusia di seluruh dunia (rahmat li al-‘alamin), menegakkan kedamaian, menciptakan keamanan dan ketenangan baik secara individual maupun komunal (al-Anbiya’/21: 107).
Ciri keseimbangan (tawazun) artinya etika Qur’ani mengajarkan bahwa manusia manusia memprioritaskan kepentingan ukhrawi, namun tidak boleh melupakan kepentingan duniawi, dan memenuhi keperluan rohani tanpa mengabaikan keperluan jasmani (al-Baqarah/ 2: 201 dan al-Qashash/28: 77).
Sedangkan ciri realistik adalah etika Qur’ani memperhatikan kenyataan hidup manusia. Al- Qur’an memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bekerja dan berkarya, memperhatikan tingkat kemampuan manusia dalam menjalankan kewajiban dan sekaligus memberikan keringanan (rukhshah) bagi yang tidak mampu melakukannya (al Baqarah/2: 173 dan 286). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa etika politik adalah seperangkat aturan atau norma dalam bernegara di mana setiap individu dituntut untuk berperilaku sesuai dengan ketentuan Allah sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an. Adapun mengenai aplikasi nilai-nilai etika tersebut merujuk kepada pola kehidupan Nabi Muhammad SAW baik dalam kehidupan secara umum maupun secara khusus, yaitu dalam tatanan politik kenegaraan.
Kepemimpinan dalam Islam Tidak diragukan lagi bahwa sistem kepemimpinan yang palingsempurna dan ideal adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sistem kepemimpinan yang dipraktikkan Rasulullah didasarkan atas kapasitasnya sebagai nabi dan rasul Allah yang memiliki sifat-sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah.
Keempat sifat inilah yang mewarnai pola laku dan kebijakan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Setelah kewafatan beliau, sifat-sifat ini tidak dimiliki sepenuhnya oleh empat khalifah sesudahnya.
Namun, salah satu sifat itu tetap menonjol dalam sistem kepemimpinan mereka, seperti sifat shiddiq sangat menonjol dalam kepribadian Abu Bakar. Sifat amanah menjadi ciri khas kepemimpinan Umar bin Khattab. Sifat tabligh sangat menjiwai Utsman bin ‘Affan. Dan sifat fathanah (cerdas dan berpengetahuan luas) menjadi karakteristik Ali bin Abi Thalib.
Sistem kepemimpinan umat pasca kewafatan Rasulullah menjadi sebuah model untuk kepemimpinan umat masa-masa berikutnya. Memang benar bahwa Rasulullah tidak meninggalkan wasiat mengenai penggantinya untuk meneruskan kepemimpinan, tetapi para sahabat dapat menilai di antara mareka yang lebih berhak dan pantas untuk memimpin. Maka, tampillah Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang diangkat berdasarkan musyawarah para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar. Kemudian, tampil Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua berdasarkan kaderisasi yang dilakukan Abu Bakar dan dimusyawarahkan bersama sahabatsahabat lain pada masa hidupnya.
Selanjutnya, khalifah yang ketiga, Utsman bin ‘Affan dipilih berdasarkan musyawarah tim formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab semasa hidupnya, yang diketuai oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Setelah itu, kepemimpinan digantikan oleh Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah keempat, yang diangkat oleh mayoritas kaum muslimin. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena perbedaan prinsip dan kepentingan. Sejarah mencatat bahwa sejak akhir pemerintahan Utsman bin ‘Affan sampai pemerintahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik terus bergejolak.
Kemudian, sistem kepemimpinanberganti dengan dinasti, yaitu Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyyah. Islam dan Masalah Kenegaraan Ketika Islam dikaitkan dengan politik, maka dapat dipastikan yang muncul kemudian adalah polemik. Karena, seperti telah disinggung di atas, tidak semua pihak sepakat dengan pemaduan antara Islam dan politik. Apalagi kalau Islam dikaitkan dengan sistem kenegaraan, jelas akan menimbulkan konsekuensi- konsekuensi yang tidak pernah ada ujungnya. Sebagai ilustrasi, di sini dikemukakan sekilas tentang perbedaan sudut pandang itu telah menimbulkan tiga paham tentang Islam dalam hubungannya dengan kenegaraan, yaitu:

1. Integralistik
Paham ini berpendapat bahwa ajaran Islam bersifat universal, yakni mencakup seluruh aspek kehidupan manusia termasuk masalah kenegaraan dan ketatanegaraan. Paham ini menghendaki pemerintahan yang Islami atau negara yang berdasarkan syariat Islam.

2. Sekularistik
Paham ini beranggapan bahwa IIslam sebagai agama harus dipisahkan dari persoalan persoalan keduniaan, termasuk masalah kenegaraan. Pengamalan ajaran Islam merupakan tugas individual, bukan komunal. Karena itu, implementasi nilai-nilai Islam tidak ada hubungannya dengan urusan negara. Dengan kata lain, Islam tidak inklusif politik; dan dengan demikian tidak ada politik Islam atau partai Islam. Dan tidak ada pula apa yang dinamakan “negara Islam”.

3. Subtantivistik
Paham ini seakan-akan menafikan bentuk-bentuk formalistic Islam dalam system ketatanegaraan. Paham ini lebih menekankan pada subtansi Islam dalam penyelenggaraan negara. Karena itu, paham ini tidak begitu mempersoalkan bentuk suatu negara selama di dalamnya mengandung nilai-nilai Islami. Dibandingkan dua paham di atas, paham ketiga ini lebih moderat dan akomodatif.
Pemimpin Menurut al-Qur’an Dalam perspektif al-Qur’an, sekurang-kurangnya ada lima istilah yang digunakan untuk menyebut predikat seorang pemimpin:

1. Khalifah [Jamak: Khulafa’ atau Khala’if]
Khalifah secara harfiah berarti pengganti, wakil, atau penguasa. Maksudnya, manusia diciptakan Allah untuk menguasai bumi dan sekaligus menjadi “wakil”-Nya di dunia ini. Di samping itu, manusia juga merupakan makhluk yang dipilih oleh Allah untuk menggantikan generasi yang sudah punah. Istilah khalifah dipakai oleh para pemimpin setelah kewafatan Rasulullah, khususnya yang empat, yaitu al-khulafa’ al-rasyidun.
Mengenai khalifah ini disebutkan dalam al-Qur’an, antara lain, dalam surat al-Baqarah/2: 30; Shad/38: 26; al-An’am/6: 165; Yunus/10: 14, 73; Fathir/35: 39; al-A’raf/7: 69, 74; dan surat al-Naml/27: 62.

2. Imam [Jamak: A’immah]
Imam, secara etimologi, artinya orang yang berjalan atau berdiri di depan, pemimpin jama’ah, penunjuk jalan, orang yang diikuti, komandan pasukan, jalan terang, al-Qur’an, Nabi Muhammad, arah kiblat, atau kepala negara. Jadi, imam merupakan tipe pemimpin yang menjadi panutan dan keteladanan bagi rakyatnya. Dalam al-Qur’an, istilah imam disebutkan dalam surat Yasin/36: 12; al-Hijr/15: 79; al-Baqarah/2: 124; Hud/11: 17; al- Ahqaf/46: 12; al-Furqan/25: 74; al- Anbiya’/21: 73; al-Sajdah/32: 24; al- Isra’/17: 71; al Qashash/28: 41; dan surat al-Taubah/9: 12.

3. Malik [Jamak: Amlak atau Muluk]
Malik secara literal berarti raja, pemilik, atau penguasa. Istilah ini biasanya digunakan oleh penguasa periode awal Islam dan kawasan negara-negara Arab. Dalam al-Qur’an, istilah malik disebut dalam surah al- Kahfi/18: 79; al-Nas/114: 2; al- Baqarah/2: 246, 247; Yusuf/12: 43, 54; Thaha/20: 114; al-Hasyr/59: 23; dan al-Maidah/5: 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar