Minggu, 11 Januari 2009

jurnalistik 3

BAB I
PENDAHULUAN

Sunting awalnya merupakan kata benda yang bermakna hiasan yg dicocokkan di rambut atau di belakang telinga. Kata kerjanya menjadi menyuntingkan yaitu :
1. Mencocokkan bunga dan sebagainya pada rambut atau di belakang telinga sebagai hiasan;
2. Selanjutnya, sunting memiliki makna lain sebagai kata kerja yang dipadankan dengan editing dalam dunia penerbitan.
Dengan melihat asal usul katanya, tampak bahwa editing lebih dekat dengan seni untuk mencocokkan atau menyelipkan sesuatu sebagai hiasan. Lalu, dalam soal pernaskahan, editing menjadi seni memilah, memeriksa, dan menata kata-kata sehingga layak untuk dipertunjukkan ke publik pembaca. Para pelakunya kemudian disebut penyunting sebagai padanan dari editor.
Dalam soal kedalaman makna, tentu bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih dalam dan menyentuh. Menyunting benar-benar mengandung pengertian segala aspek editing, seperti editing mekanik, editing substantif, dan editing gambar. Karena itu, sungguh tepat siapa pun yang mengusulkan sunting menjadi padanan kata editing dalam bahasa Indonesia.
Saya setuju bahwa menyunting adalah seni seperti halnya tipografi sebagai seni memilih, menata, dan menggunakan huruf atau font. Menyunting merupakan seni memilih, menata, dan mempublikasikan naskah. Dengan demikian, seorang penyunting harus memiliki rasa seni dan cinta keindahan. Seorang penyunting harus peka terhadap unsur-unsur kehidupan yang membuat naskah garapannya menjadi berdaya dan memiliki kekuatan mengubah pembaca.
Menyunting adalah membuat perubahan, baik dari sisi substansi maupun sisi kemasan, bahkan termasuk mengubah banyak subjek yang terlibat, seperti penulis, penerbit, dan pembaca. Karena itu, para penyunting juga merupakan agen perubahan dan ia harus bisa memosisikan diri dengan baik.
Sebuah tulisan di dalam naskah memang harus bisa menghipnosis dan demikianlah tujuan penerbitan sesungguhnya. Judul harus menghipnosis, tampilan desain harus menghipnosis, daftar isi harus menghipnosis, dan juga isi tentunya harus menghipnosis.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsisp Dasar Bahasa Jurnalistik/Pers
Menurut JS Badudu (2005) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas di antaranya:
1. Singkat
2. Padat
3. Sederhana
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan para ahli, yaitu :
1. Prinsip prosesibilitas,
Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan a)bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; b)bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan c)bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting.
2. Prinsip kejelasan,
yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi.
4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas.
Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea Bahasa jurnalistik juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya.
1. Pemakaian kata-kata yang baik dan benar.
Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik diperhadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata.
Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
2. Penggunaan kalimat efektif.
Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.
3. Penggunaan alinea/paragraf yang kompak.
Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain.

B. Proses Editing (Menyunting Naskah)
Ada dua proses penyuntingan. Meliputi :
1. Penyuntingan Secara Redaksional
Kegunaan dari penyuntingan ini agar naskah lebih logis, mudah dipahami, dan tidak rancu (benar ejaan, punya arti, dan enak dibaca).
2. Penyuntingan Secara Substansial
Penyuntingan ini dilakukan dengan memperhatikan data dan fakta agar tetap akurat dan benar. Isi tulisan mudah dimengerti. Sistematika harus tetap terjaga.
Menyunting bukan sekadar memotong tulisan agar pas dengan space, tapi juga membuat tulisan yang enak dibaca dan menarik, and tidak mempunyai kesalahan factual.
Dalam hal penyuntingan harus melalui proses :
a. Kegiatan Editing
1. Memperbaiki kesalahan-kesalahan faktual.
2. Menghindari kontradiksi dan mengedit berita untuk diperbaiki.
3. Memperbaiki keaslahan ejaan (tanda baca, tatabahasa, angka, nama, dan alamat).
4. Menyesuaikan gaya bahasa dengan gaya surat kabar bersangkutan.
5. Mengetatkan tulisan (meringkas beberapa kalimat menjadi satu atau dua kalimat yang memiliki kejelasan makna serupa).
6. Menghindari dari unsure-unsur penghinaan, arti ganda, dan tulisan yang memeuakkan (bad taste).
7. Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi (missal, anak judul/subjudul).
8. Menulis judul yang menarik.
9. Menulis keterangan gambar/caption untuk gambar/foto dan pekerjaan lain yang bersangkutan dengan cerita yang disunting.
10. Menelaah kembali hasil tulisan yang telah dicetak, mungkin masih terdapat kesalahan secara redaksional dan substansial.
b. Fokus Editor
1. Sadar akan latar belakang para pembaca (umur, taraf hidup, dan gaya hidup) sehingga naskah diharapkan sesuai dengan latar belakang itu.
2. Tegas
3. Memperbaiki tulisan tanpa merusak cara penulis memaparkan pendapatnya.
4. Haiti-hati dengan iklan terselubung yang masuk dalam tulisan.
c. Jiwa Redaktur
1. ilmu jurnalistik.Memiliki wawasan luas
2. Berkepala dingin, sanggup bekerja dalam suasana tergesa-gesa dan rumit, tanpa menderita perasaan tertekan.
3. Cermat, hati-hati, tekun, dan tegas.
4. elihat sesuatu dari sudut pandang pembaca (berorientasi pada kepentingan pembaca)

C. Redaktur
Seorang Redaktur sangat akrab dengan pekerjaan di media massa. Apa dan siapa yang disebut redaktur? Redaktur lazim juga disebut sebagai editor, adalah orang yang melakukan penyuntingan (editing) dan juga melengkapi naskah-naskah berita yang ditulis oleh wartawan atau reporter.
Ada yang mengibaratkan, tugas seorang redaktur mirip seorang koki masakan. Bahan-bahan yang dikumpulkan seorang wartawan di lapangan, diedit, diolah, ditambahi atau dikurangi seorang redaktur, persis seperti orang mengolah masakan sehingga berita yang disajikan jadi menarik, enak dibaca dan mudah dimengerti.
Redaktur umumnya berasal dari reporter lapangan yang dalam karirnya kemudian naik menjadi redaktur muda, madya dan kemudian redaktur kepala atau re-daktur bidang, yakni yang membawahi bidang tertentu (seperti politik, pertahanan keamanan, ekonomi, perkotaan, hukum kriminal, olahraga) atau halaman tertentu di media cetak.
Redaktur yang cemerlang karirnya bisa diangkat men-jadi Redaktur Pelaksana ataupun Redaktur Eksekutif, yakni orang yang memimpin pelaksanaan harian operasi sebuah redaksi media cetak ataupun elektronik.
Dalam jurnalisme elektronik, istilah redaktur lebih sering disebut editor. Di sini editor ditujukan kepada orang yang melakukan penyuntingan gambar video baik untuk keperluan berita maupun produksi program televisi lain-nya. Editor jenis ini juga disebut sebagai tape editor atau pun audio-visual editor.
Pada perkembangannya, media cetak pun menggunakan istilah editor untuk merujuk pada posisi redaktur ini. Istilah editor diserap dari bahasa Inggris, sementara redaktur merupakan serapan dari bahasa Belanda, redacteur.
1. Cara Kerja Seorang Redaktur
Tugas editing (penyuntingan) yang dihadapi redaktur di daerah cukup berat. Selain karena kualitas sumber daya (terutama reporter) terbatas, beberapa media sahamnya juga memiliki Pemda setempat. Dengan be-gitu, tantangan yang dihadapi bukan saja bagaimana menyajikan berita semenarik mungkin, tapi juga bagai-mana menjaga agar redaksi tetap independen.
Proses editing sangat penting peranannya dalam me-nentukan kualitas kerja redaksi, karena mutu produk akhir yang disajikan kepada pembaca (baik berupa be-rita, foto, grafis, dan lain – lain) yang dimuat dikoran diten-tukan pada tahapan ini. Karena itu, proses editing ini di-serahkan kepada wartawan yang sudah senior, berpengalaman, dan berwawasan.
Editing dimaksudkan untuk mengetahui antara lain apakah:
1. berita itu layak dimuat misalnya, memenuhi standar rukun iman berita atau layak berita).
2. Fakta yang terkandung dalam berita itu sudah benar.
3. Ditulis dengan baik (berbahasa Indonesia dengan benar, tuli-sannya runtut dan menarik, bisa dipahami oleh pembaca dan lain – lain).
4. Memenuhi standard moral (seimbang, coverage both side, tak melanggar kode etik).
5. Dipero-leh lewat prosedur yang benar, serta memprediksikan seberapa jauh dampak pengaruh berita itu bagi media yang bersangkutan (misalnya untuk berita – berita yang agak menyerempet bahaya kepihak ketiga).
Deskripsi diatas menunjukkan bahwa tugas seorang redaktur yang melaksanakan tugas editing cukup berat. Sebab, seperti yang terjadi di beberapa media, redaktur juga punya tugas harian lainnya, seperti ikut merencanakan berita, fungsi koordinasi liputan, pengarah tata letak dan lain –lain. Untuk itu perlu kiranya redaktur memperhatikan hal-hal dibawah ini. Yaitu :
a. Keseimbangan
Akhir – akhir ini ada kecenderungan para pekerja pers agak berani melanggar “kode etik”. Misalnya memuat berita yang sepihak sehingga merugikan pihak lain. Bia-sanya hal ini karena ketidakperdulian/kemalasan untuk mendorong wartawan melengkapi sumber beritanya.
Berita di boks kiri bawah Metropolis tentang wanita, sungguh pun digemari para pembaca, rawan komplain. Sebab, seringkali berita itu didapat secara sepihak (bah-kan seringkali daripengacara sang klien), tanpa ada upaya menghubungi pihak “lawan” dari klien pengacara tersebut.
Yang juga sering mendapat komplain adalah mem-bawa – bawa nama lembaga yang tak terkait langsung dari pelaku atau korban kriminal. Contoh terbaru adalah kasus Kepala Bagian Keuangan Unair yang menjadi ter-sangka penipuan puluhan juta. Demikian pula tentang istri kepala capem BCA yang dibantai perampok, karya-wan BTN yang meninggal di kamar rumah karyawati Bank Aspac dan lain –lain.
Menurut hemat saya, kita boleh menyebut identitas tersangka/korban dengan kelembagaan tertentu yang tak terkait langsung pada isi berita, bukan pada judul.
b. Akurasi
Masalah akurasi akhir – akhir ini juga sering dilupakan. Mulai dari yang kecil – kecil seperti soal nama orang, tempat kejadian, penulisan ejaan, jabatan, bahasa asing/daerah, sampai salah kutip pernyataan atau salah per-sepsi. Sebagai contoh, pernah terjadi wartawan salah menulis pernyataan H Roeslan Abdulgani soal temannya seperjuangan. Waktu itu disebutkan nama Soemitro Djo-johadikusumo tapi ditulis Soebandrio (tokoh PKI). Seo-rang wartawan senior dari Straits Times menyebut bahwa sarat bagi sebuah berita itu adalah akurasi, akurasi dan akurasi.
c. Pra Editing
Yang jadi persoalan sehari – hari bagi redaktur dalam mengedit berita adalah terbatasnya waktu. Pada ha-laman ekonomi bisnis, misalnya wartawan umumnya baru datang ke kantor pukul 16.00 sementara deadline pukul 22.00. pada waktu yang sesingkat itu redaktur harus mengedit enam atau delapan berita, menyiapkan foto, mengatur tata letak, dan lain – lain.
Karena itu kedatangan redaktur lebih awal ke kantor untuk memonitori “listing” berita hari itu sangat penting. Sebab, ini sangat membantu redaktur untuk membuat “pra editing” seperti menentukan berita utama (opening) hari itu, pengaturan foto, termasuk pemilihan angle dan teras berita yang pas.
Proses pra-editing ini ternyata sangat perlu, Karena dengan persiapan yang cukup maka kita jadi punya per-siapan waktu dan materi yang cukup untuk membuat edi-ting berita dengan baik, mengatur foto, membuat grafis, dan lain – lain. Yang juga tak kalah penting adalah mem-perkaya “berita” itu dengan referensi lain yang mungkin tak diperoleh wartawan.
d. Format Penulisan
Bahasa pers memiliki safat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik. Meski demikian, bahasa pers sebagai salah satu ragam Bahasa Indo-nesia harus taat pada kaidah, ejaan yang benar, serta bahasa baku (yang paling banyak dipakai oleh lapisan masyarakat, baik dalam bahasa tulis maupun lisan). Yang juga harus diingat bahwa per situ dibaca oleh segala lapisan, baik strata pendidikan maupun ekonomi, Karena itu bahasa dan istilah yang dipakai wartawan harus bisa dimengerti oleh segala lapisan.
Itu sebabnya, istilah – istilah rumit pada berita eko-nomi, hukum, kesehatan, dan lain – lain mestinya harus dijelaskan. Demikian juga sebisa – bisanya pemakaian bahasa asing dibatasi sesedikit mungkin.
Beberapa nasihat untuk tulisan berita yang baik : kalimatnya pendek – pendek, mengalir (logis) dan jernih, menggunakan kalimat aktif, bukan pasif. Sebaliknya tulisan yang sulit dipahami pembaca adalah yang kalimat dan alineanya panjang – panjang, memakai ba-nyak istilah teknis, asing dan bahasa daerah.

D. Deskripsi Kerja
Tugas editor adalah editing –mengedit, menyunting, yakni proses penentuan, seleksi, dan perbaikan (koreksi) naskah yang akan dimuat atau dipublikasikan. Di media massa, editing adalah tugas redaktur.
Dalam proses penulisan naskah berita, editing merupakan bagian dari aktivitas pengolahan hasil liputan (news processing) setelah melewati tahap news planning (perencanaan berita), news gathering (peluputan peristiwa di lapangan), dan news writing (penulisan bahan-bahan berita menjadi sebuah tulisan berita).
1. Tujuan Editing
a. Memperbaiki struktur kalimat yang ruwet agar lebih lancar dan komunikatif,
b. Menjaga agar isi naskah dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan visi dan misi redaksi, serta menarik perhatian pembaca/audience.
c. Menyesuaikan naskah dengan gaya media bersangkutan, standar bahasa serta kelayakan naik cetak (fit to print) atau kelayakan siar (fit to broadcast).
2. Detil Editing: Teknis
a. Mencari kesalahan-kesalahan faktual dan memperbaikinya, di antaranya kekeliruan salah tulis tentang nama, jabatan, gelar, tanggal peristiwa, nama tempat, alamat, dan sebagainya.
b. Memperbaiki kesalahan dalam penggunaan tanda-tanda baca.
c. Tegas dalam hal-hal seperti penggunaan huruf besar dan singkatan, penggunaan gelar, tanda baca, ejaan, tata bahasa, pemilihan jenis huruf untuk judul, dsb.
d. Mengetatkan tulisan atau menyingkat tulisan sesuai dengan ruang yang tersedia, termasuk membuang atau memotong (cutting) paragraf yang tidak penting.
e. Mengganti kata atau istilah yang tidak memenuhi prinsip ekonomi kata.
f. Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi, seperti anak judul (subjudul), di mana diperlukan.
g. Menulis atau menentukan judul dan lead atau teras berita jika dipandang perlu.
h. Di beberapa suratkabar, editing juga termasuk menulis caption (keterangan gambar) untuk foto dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan cerita yang disunting itu.
3. Detil Editing: Non-Teknis
a. Memperhatikan apakah naskah berita sudah memenuhi nilai-nilai jurnalistik dan kriteria layak muat —aktual, faktual, penting, dan menarik.
b. Meneliti apakah naskah berita sudah menaati doktrin kejujuran (fairness doctrine) serta asas keberimbangan (cover both side). Jika belum, tugaskan kembali reporter untuk memenuhinya.
c. Memperhatikan apakah opini, interpretasi, atau penilaian wartawan lebih menonjol daripada fakta hasil liputan.
d. Menjaga jangan sampai terjadi kontradiksi dalam sebuah naskah.
e. Menjaga jangan sampai terjadi penghinaan, arti ganda, dan tulisan yang memuakkan (bad taste).
f. Sadar mengenai sifat-sifat umum tentang umur, taraf hidup, dan gaya hidup para pembaca utama korannya, dan menyunting naskah sesuai dengan sifat umum tersebut.
g. Memperbaiki tulisan opini (artikel) dengan segala upaya tanpa merusak cara penulisnya menyatakan pendapatnya. Karenanya, redaktur harus membaca lebih dahulu seluruh cerita/naskah untuk mendapatkan pengertian penuh tentang apa yang berusa dikatakan oleh si penulis.
h. Menjaga masuknya iklan terselubung sebagai berita. Dengan demikian, editing tidaklah semata-mata memotong (cutting) naskah agar sesuai atau pas dengan kolom yang tersedia, akan tetapi juga membuat naskah enak dibaca, menarik, dan tidak mengandung kesalahan faktual. Ia mengubah redaksional naskah tanpa mengubah makna atau substansinya. Jika perlu, editor melakukan penulisan ulang (rewriting).
4. Kelengkapan Editor
a. Style Book –buku pedoman gaya bahasa khas media tempat editor bekerja.
b. Kamus Bahasa.
c. Kamus singkatan (akronim).
d. Peta.
e. Buku biografi tentang tokoh-tokoh ternama.
f. Ensiklopedi.
g. Buku telefon.
h. Buku atau koleksi ucapan atau pepatah terkenal.
5. Syarat Editor
Dikemukakan mantan Pemimpin Redaksi Harian Times London, Harold Evans, dalam buku Newsman’s English: a)Berwawasan luas, b)Berkepala dingin, c)Sanggup bekerja dalam suasana tergesa-gesa dan rumit tanpa menderita perasaan tertekan, d)Cermat, e)hati-hati, f)tekun, g)Tegas, h)Melihat dari sudut pandang pembaca.


F. Foto Jurnalistik
Foto jurnalistik adalah membuat berita dengan menggunakan foto sebagai media informasi. Fotojurnalistik mengajak kita melihat sesuatu yang tidak biasa kita lihat, seperti membawa kita ke tempat yang tidak pernah didatangi.
Penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Kalau kita melihat surat kabar maka yang kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya.
Foto pada hakekatnya punya kelebihan dari media oral. Selain mudah diingat, foto juga mempunyai efek ketiga yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan inspirasi yang melihatnya.
Pada saat seseorang memutuskan belajar fotojurnalistik, dia akan masuk ke sebuah daerah dimana terdapat sebuah tradisi kuat untuk menyampaikan ‘sesuatu’-berita kepada orang lain-publik. Seperti yang dilakukan oleh fotografer seni, seorang wartawan foto harus mempunyai sentuhan artistik untuk menghasilkan image yang menyengat
Foto jurnalistik pada dasarnya adalah bercerita atau melaporkan suatu kejadian atau kenyataan dengan menggunakan medium foto. Seperti juga pelaporan dalam bentuk tulisan, maka pada foto pun berlaku bahwa yang kita sampaikan lewat foto haruslah jelas dan mudah dimengerti. Patokan 5W + 1H wajib dalam setiap melakukan pemotretan,
- What … Apa
- Who …. Siapa
- Why …. Mengapa
- Where.. Dimana
- When …Kapan
- How.. Bagaiman
Foto tanpa keterangan yang lengkap bisa menjadikan foto itu tidak mempunyai arti apa-apa. Untuk sebuah foto jurnalistik ,foto yang baik dan mempunyai isi, lebih menarik dari sekedar foto yang indah. Foto digunakan untuk mengkomunikasikan apa yang dilihat, dicatat, dan dirasakan dan ingin dikomentari oleh pewarta foto kepada pembaca.
Bapak Jurnalistik AS, Prof. Clifton Edom dalam bukunya yang berjudul “ Photojurnalism, Priciples and Practices” menegaskan, “Seorang fotojurnalis pertama-tama adalah seorang wartawan. Mereka harus selalu memotret langsung di jantung peristiwa yang tengah panas-panasnya, mereka tidak bisa menciptakan foto dengan hanya mengangkat telefon. Mereka adalah mata dunia, dan selalu harus bisa melihat dari dekat apa yang terjadi dan melaporkannya”. Jadi menurut Bruce Baumann, penyunting senior dari Pittsburg press , “ Hal terpenting bagi seorang fotojurnalis adalah berfikir bahwa ia adalah seorang wartawan, yang kedua baru ia bertindak sebagai fotografer”.
Di medan liputan yang berkaitan dengan kekerasan, peperangan dan panggung-panggung yang eksplosif , fotojurnalis mempertaruhkan hidupnya, seperti: Robert Capa, Werner Bischop, Larry Burrows, Dickey Chappelle, David “Chim” Seymour, Eugene Smith, Willie Vicoy dan terakhir Ken Oosterbrock, menebus nyawanya dalam pengabdiannya pada fotojurnalistik.
Pada prinsipnya fotojurnalistik adalah salah satu alat untuk mengkomunikasikan atau menginformasikan ‘sesuatu’ kepada yang lainnya, sama seperti yang dilakukan oleh wartawan tulis di sebuah media cetak. Hanya saja mediumnya lain, yaitu visual. Sebagai alat informasi tentu saja perannya banyak ; bisa untuk memperbaiki sesuatu, atau memperburuk sebuah situasi. Foto seperti halnya tulisan, bisa dipergunakan untuk membentuk opini publik, tergantung siapa yang mempublikasikannya. Bisa menjadi alat propaganda, mengajak orang untuk berbuat baik atau merusak
1. Karateristik Fotojurnalistik
Wilson Hicks dalam bukunya menjabarkan 7 karateristik khas dalam salah satu cabang dalam ilmu komunikasi tersebut sebagai berikut :
a. Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks dan gambar adalah mutlak. Foto berita dapat mengungkapan cara pandang terhadap subjeknya, pesan yang disampaikan lebih penting dari pada sekedar ungkapan pribadi. Caption sangat membantu suatu gambaran bagi masyarakat. Bahkan foto esai pun memerlukan caption.
b. Medium fotojurnalistik biasanya tercetak, bisa di media cetak, kantor berita, Koran atau majalah, tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan keberadaan foto penerangan yang muatanya adalah kisah sukses dan positif, maka informasi yang disebar dalam fotojurnalistik adalah sebagaimana adanya, disajikan sejujur-jujurnya.
c. Lingkup fotojunalistik adalah manusia. Itu sebabnya fotojurnalis harus mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya berada puncak piramida sajian dan pesan visual.
d. Bentuk liputan fotojurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seseorang fotojurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita itu sendiri.
e. Fotojurnalistik adalah fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa diekspresikan seorang fotojurnalis melalui subjeknya.
f. Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik. Gaya pemotretan yang khas, Bahkan dengan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan harus komunikatif bagi semua lapisan masyarakat.
g. Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual luas, populis, arif, jeli dalam menilai karya foto yang dihasilkan, serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, saran-saran hingga meminta dilakukan suatu pengambilan gambar ulang jika kurang layak siar.
Di samping itu, seluruh kategori tersebut memiliki sisi lain dari cara pengambilannya. Dalam hal ini membuat gambar dengan pendekatan foto feature atau foto-foto humanis, yang kesannya lebih dalam - gaya personal lebih menonjol - tidak sekedar memotret peristiwa namun pada merekam kondisi di balik peristiwanya.
2. Metoda EDFAT
Untuk memilih tindakan dalam kaitan mendapatkan foto jurnalistik sebagai pilihan profesi, maka metode yang diperkenalkan “Walter Cronkite School of Jurnalism and Telecommunication Arizona State University” sebagai metoda EDFAT yang mungkin tepat digunakan sebagai pembimbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotografi pribadi.
EDFAT adalah metoda pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metoda itu adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa yang mempunyai nilai berita. Meliputi:
a. ENTIRE (E) . Dikenal juga sebagai established shot, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat suatu suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain untuk mengintai bagian-bagian untuk dipilih sebagai objek.
b. DETAIL (D). Suatu pilihan atas bagian tertentu dari keseluruhan pandangan terdahulu (entire), tahap ini adalah suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai tepat sebagai “point of interest”nya.
c. FRAME (F). Suatu tahap dimana kita membingkai suatu detil yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang calon foto jurnalis mengenal arti komposisi, pola, tekstur dan subjek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini.
d. ANGLE (A). Tahap dimana sudut pandang menjadi dominan, memotret dari ketinggian, bawah, atau sejajar pandangan mata.
e. TIME (T). Tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ruang tajam adalah salah satu persyaratan yang sangat diperlukan.
Kebanyakan media massa cetak mempunyai lebih banyak wartawan tulis dari pada wartawan foto. Dari sumber yang mereka miliki banyak berita dikembangkan, ketika redaktur menyetujui usulan penulisan berita, biasanya wartawan tulis mengusulkan permintaan foto. Untuk pewarta foto, kunci untuk melakukan peliputan yang baik tergantung dari informasi dan perencanaan dari permintaan foto tersebut, termasuk di dalamnya nama atau peristiwa yang akan difoto waktu dan tempat, mungkin juga nomor telefon sumber kalau ada perubahan yang mendadak.
Diskusi pewarta foto dan wartawan tulis,
Kalau keadaan memungkinkan, wartawan tulis, pewarta foto dan redaktur yang bersangkutan bertemu sebelum menjalankan penugasan untuk berdiskusi. Keuntungannya selain pewarta foto mengetahui permasalahan yang akan dihadapi ialah pewarta foto dapat mengusulkan visualisasi yang menggambarkan cerita tersebut, apakah itu foto candid, potrait, foto ilustrasi, dan juga dapat memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapat gambar tersebut.
















BAB III
KESIMPULAN

Menyunting adalah membuat perubahan, baik dari sisi substansi maupun sisi kemasan, bahkan termasuk mengubah banyak subjek yang terlibat, seperti penulis, penerbit, dan pembaca. Karena itu, para penyunting juga merupakan agen perubahan dan ia harus bisa memosisikan diri dengan baik.
Ada dua proses penyuntingan. Meliputi :
1. Penyuntingan Secara Redaksional
Kegunaan dari penyuntingan ini agar naskah lebih logis, mudah dipahami, dan tidak rancu (benar ejaan, punya arti, dan enak dibaca).
2. Penyuntingan Secara Substansial
Penyuntingan ini dilakukan dengan memperhatikan data dan fakta agar tetap akurat dan benar. Isi tulisan mudah dimengerti. Sistematika harus tetap terjaga.
Redaktur lazim juga disebut sebagai editor, adalah orang yang melakukan penyuntingan (editing) dan juga melengkapi naskah-naskah berita yang ditulis oleh wartawan atau reporter.
Tugas editor adalah editing –mengedit, menyunting, yakni proses penentuan, seleksi, dan perbaikan (koreksi) naskah yang akan dimuat atau dipublikasikan. Di media massa, editing adalah tugas redaktur.
Dalam proses penulisan naskah berita, editing merupakan bagian dari aktivitas pengolahan hasil liputan (news processing) setelah melewati tahap news planning (perencanaan berita), news gathering (peluputan peristiwa di lapangan), dan news writing (penulisan bahan-bahan berita menjadi sebuah tulisan berita).
DAFTAR PUSTA

• A M Dewabrata, “Kalimat jurnalistik: panduan mencermati penulisan berita”, Kompas, 2004
• Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan, Baticpress Bandung, Cet. III, 2003.
• Atok Sugiarto. “Indah Itu Mudah”. Gramedia Pustaka Utama
• Chip Scanlan, “The Power of Editing”, The Poynter Institute/Poynteronline.
• Djaf̕ar H. Assegaff , “Jurnalistik masa kini: (pengantar ke praktek kewartawanan)”, Ghalia Indonesia, 1983.
• Ras Siregar, “Bahasa pers, bahasa Indonesia jurnalistik: kerangka teori dasar”, Grafikatama Jaya, 1992
• Septiawan Santana Kurnia. “Jurnalisme kontemporer”. Yayasan Obor Indonesia, 2005.
• Pamusuk Eneste. “Buku pintar penyuntingan naskah”. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
• Pangesti Wiedarti, dkk. “Menuju budaya menulis: suatu bunga rampai” Tiara Wacana, 2005.
• Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. “Kamus istilah jurnalistik”. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar