Sabtu, 31 Januari 2009

pengembangan variasi mengajar

BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya semua orang tidak menghendaki adanya kebosanan dalam hidupnya. Sesuatu yang membosankan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Merasakan makanan yang terus-menerus akan menimbulakan kebosanan. Orang akan lebih suka bila hidup itu diisi dengan penuh variasi dalam arti kata positif. Makan makanan yang bervariasi Mendengarkan lagu-lagu baru lebih menyenangkan daripada lagu-lagu yang tiap hari didengar. Rekreasi pada dasarnya juga mengurangi kebosanan pandangan ditempat asalnya. Mengatur alat rumah tangga sering berganti, akan membuat orang lebih senang dirumah daripada pergi. Demikian juga dalam proses belajar mengajar . Bila guru dalam proses belajar mengajar tidak menggunakan variasi, maka akan membosankan siswa, perhatian siswa berkurang, mengantuk, dan akibatnya tujuan belajar tidak tercapai. Dalam hal ini guru memerlukan adanya variasi dalam mengajar siswa.
Keterampilan mengadakan variasi dalam proses belajar mengajar akan meliputi tiga aspek, yaitu variasi dalam gaya mengajar, variasi dalam menggunakan media dan bahan pengajaran, dan variasi dalam interaksi antara guru dan siswa.
Apabila ketiga komponen tersebut dikombinasikan dalam penggunaannya atau secara integrasi, maka akan meningkatkan perhatian siswa, membangkitkan keinginan dan kemampuan belajar. Keterampilan dalam mengadakan variasi ini lebih luas penggunaannya daripada keterampilan lainnya, karena merupakan keterampilan campuran atau diinegrasikan dengan keterampilan yang lain. Misalnya, cariasi dalam memberikan penguatan, variasi dalam memberi pertanyaan, dan variasi dalam tingkat kognitif.
Dalam proses belajar mengajar ada variasi bila guru dapat menunjukkan adanya perubahan dalam gaya mengajar, media yang digunakan berganti-ganti, dan ada perubahan dalam pola interaksi antara guru-siswa, siswa-guru dan siswa-siswa. Variasi lebih bersifat proses daripada produk.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tujuan Variasi Mengajar
Penggunaan variasi terutama ditujukan terhadap perhatian siswa, motivasi dan belajar siswa. Tujuan mengadakan variasi dimadsud adalah :

1. Meningkatkan dan Memelihara Perhatian Siswa Terhadap Relevansi Proses Belajar Mengajar
Dalam proses belajar mengajar perhatian dari siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan sangat dituntut. Sedikitpun tidak diharapkan adanya siswa yang tidak atau kurang memperhatikan penjelasan guru, karena hal itu akan menyebabkan siswa tidak mengerti akan bahan yang diberikan guru.
Dalam jumlah siswa yang besar biasanya ditemukan kesukaran untuk mempertahankan agar perhatian siswa tetap pada materi pelajaran yang diberikan. Berbagai factor memang mempengaruhi. Misalnya factor penjelasan guru yang kurang mengenai sasaran, situasi diluar kelas yang dirasakan siswa lebih menarik daripada materi pelajaran yang diberikan guru, siswa yang kurang menyenangi materi yang diberikan guru.
Fokus permasalahan pentingnya perhatian ini dalam proses belajar mengajar, karena dengan perhatian yang diberikan siswa terhadap materi pelajaran yang guru jelaskan, akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Tecapainya tujuan pembelajaran tersebut bila setiap siswa mencapai penguasaan terhadap materi yang diberikan dalam suatu pertemuan kelas. Indikator penguasaan siswa terhadap materi pelajaran adalah terjadinya perubahan di dalam diri siswa. Jadi, perhatian adalah masalah yang tidak bias dikesampingkan dalam konteks pencapaian tujuan pembelajaran.
Karena itu, guru memperhatikan variasi mengajarnya, apakah sudah dapat meningkatkan dan memelihara perhatian siswa terhadap materi yang dijelaskan atau belum.
2. Memberikan Kesempatan Kemungkinan Berfungsinyanya Motivasi
Motivasi memegang peranan penting dalam belajar. Seorang siswa tidak akan dapat belajar dengan baik dan tekun jika tidak ada motivasi di dalam dirinya. Bahkan tanpa motivasi, seorang siswa tidak akan melakukan kegiatan belajar. Maka dari itu, guru selalu memperhatikan masalah motivasi ini dan berusaha agar tetap tergejolak di dalam diri setiap siswa selama pelajaran berlangsung.
Dalam proses belajr mengajr di kelas, tidak setiap siswa mempunyai motivasi yang sama terhadap sesuatu bahan. Untuk bahan tertentu boleh jadi seorang siswa menyenanginya, tetapi bahan yang lain boleh jadi siswa tersebut tidak menyenanginya. Ini merupakan masalh bagi guru dalam setiap kali mengadakan pertemuan. Guru selalu dihadapkan pada masalah motivasi. Guru selalu ingin memberikan motivasi terhadap siswanya yang kurang memperhatikan materi pelajaran yang diberikan.
Bagi siswa yang sering memperhatikan materi pelajran yang diberikan, bukanlah masalah bagi guiru. Karena di dalam diri siswa tersebut sudah ada motivasi, yaitu motivasi intrinsik. Siswa yang demikian biasanya dengan kesadarannya sendiri memperhatikan penjelasan guru. Rasa ingin tahunya lebih banyak terhadap materi pelajaran yang diberikan. Berbagai gangguan yang ada disekitarnya kurang dapt mempengaruhinya agar memecahkan perhatiannya.
Lain halnya bagi siswa yang tidak ada motivasi di dalam dirinya, maka motivasi ekstrinsik yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Disini peranan guru lebih dituntut untuk memerankan fungsi motivasi, yaitu motivasi sebagai alat yang mendorong manusia untuk berbuat, motivasi sebagai alat yang menentukan arah perbuatan, dan motivasi sebagai alat untuk menyeleksi perbuatan.


3. Membentuk Sikap Positif terhadap Guru dan Sekolah
Adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa di kelas ada siswa tertentu yang kurang senang terhadap seorang guru. Sikap negative ini tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada siswi. Konsekuensinya bidang studi yang dipegang oleh guru tersebut juga menjadi tidak disenangi. Acuh tak acuh sering ditunjukkan lewat sikap dan perbuatan ketika guru tersebut sedang memberikan materi pelajaran di kelas.
Metode mengajar yang dipergunakan itu-itu saja. Misalnya hanya menggunakan metode ceramah untuk setiap kali melaksanakan tugas mengajar di kelas. Tidak pernah terlihat menggunakan metode yang lain. Misalnya metode diskusi, resitasi, Tanya jawab, problem solving atau cerita.
Guru yang bijaksana adalah guru yang pandai menempatkan diri dan pandai mengambil hati siswa. Dengan sikap ini siswa merasa diperhatikan oleh guru. Siswa selalu ingin dekat dengan guru. Ketiadaan guru barang sehari di sekolah tidak jarang dipertanyakan. Siswa merasa rindu untuk selalu dekat di sisi guru. Guru seperti itu biasanya karena gaya mengajarnya dan pendekatannya yang sesuai dengan psikologis siswa. Variasi mengajarnya mempunyai relevansi dengan gaya belajar siswa. Di sela-sela penjelasan selalu diselingi humor dengan pendekatan yang edukatif, jauh dari sikap permusuhan.

B. Variasi Gaya Mengajar
1. Pengertian Variasi Gaya Mengajar
Ada beberapa pendapat berkenaan dengan Variasi gaya mengajar. Meliputi:
a. Menurut Uzer Usman variasi adalah suatu kegiatan guru dalam kontek proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan murid, sehingga dalam situasi belajar mengajar. Murid senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme serta penuh partisipasi.
b. Menurut Abu Ahmadi gaya mengajar adalah tingkah laku, sikap dan perbuatan guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
c. Menurut Abdul Qadir Munsyi, gaya mengajar adalah gaya yang dilakukan guru pada saat mengajar di muka kelas.
d. Menurut Syahminan Zaini, gaya mengajar adalah gaya atau tindak-tanduk guru sebagai pernyataan kepribadiannya dalam menyampaikan bahan pelajarannya kepada siswa.
Dari definisi di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa variasi gaya mengajar adalah pengubahan tingkah laku, sikap dan perbuatan guru dalam kontek belajar mengajar yang bertujuan untuk mengatasi kebosanan siswa, sehingga siswa memiliki minat belajar yang tinggi terhadap pelajarannya. Dan ini bisa dibuktikan melalui ketekunan, antusiasme, keaktifan mereka dalam belajar dan mengikuti pelajarannya di kelas.
Anak tidak bisa dipaksakan untuk terus menerus memusatkan perhatiannya dalam mengikuti pelajarannya, apalagi jika guru saat mengajar tanpa menggunakan variasi alias monoton yang membuat siswa kurang perhatian, mengantuk, dan bosan. Untuk mengatasi kebosanan siswa tersebut perlu adanya variasi, dalam keterampilan mengadakan variasi dalam proses belajar mengajar ada tiga aspek, yaitu :
1) Variasi gaya mengajar
2) Variasi dalam menggunakan media
3) Variasi dalam interaksi antara guru dengan siswa.

2. Tujuan Variasi Gaya Mengajar :
1. Meningkatkan dan memelihara perhatian siswa terhadap relevensi terhadap proses belajar mengajar
Dalam proses belajar mengajar, perhatian siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan guru merupakan masalah yang sangat penting, karena dengan perhatian tersebut akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan tersebut akan tercapai bila setiap siswa mencapai penguasaan terhadap materi yang diberikan dalam suatu pertemuan di kelas.
Dalam jumlah siswa yang banyak, biasanya sulit atau sukar untuk mempertahankan agar perhatian siswa tetap pada materi yang diberikan. Memang ada banyak faktor yang mempengaruhinya, misalnya ; faktor penjelasan guru yang kurang mengenai sasaran, faktor gaya guru dalam mengajar yang tanpa ada variasinya, dan lain sebagainya. Jadi, masalah perhatian siswa terhadap pelajaran tidak bisa dikesampingkan dalam konteks pencapaian tujuan pembelajaran.
Oleh karena itu, guru hendaknya memperhatikan variasi gaya mengajarnya, apakah sudah dapat meningkatkan dan memelihara perhatian siswa terhadap materi yang dijelaskan atau belum.
2. Memberi kesempatan
Memberi kesempatan kemungkinan berfungsinya motivasi dalam belajar, motivasi memegang peranan yang sangat penting, karena tanpa motivasi seorang siswa tidak akan melakukan kegiatan belajar. Motivasi ada 2, yaitu : motivasi intrinsik (dari dirinya sendiri) dan motivasi ekstrinsik (dari luar dirinya sendiri).
Dalam proses belajar mengajar di kelas, tidak setiap siswa didalam dirinya ad motivasi intrinsik yakni kesadarannya sendiri untuk memperhatikan penjelasan guru, rasa ingin tahu lebih banyak terhadap materi yang diberikan guru. Dalam pertemuan dikelas ada juga siswa yang tidak ada motivasi dalam dirinya (Intrinsik), masalah inilah yang sering dihadapi guru. Guru selalu dihadapkan masalah motivasi yakni motivasi ekstrinsik, yang merupakan dorongan dari luar dirinya mutlak diperlukan. Jadi siswa yang tidak ada motivasi didalam dirinya (intrinsik) memerlukan motivasi ekstrinsik untuk me;lakukan kegiatan belajar. Disinilah peranan guru lebih dituntut untuk memerankan motivasi, yaitu motivasi sebagai alat mendorong siswa untuk berbuat, sebagai alat untuk menentukan arah dan sebagai alat untuk menyeleksi kegiatan.
3. Membentuk sikap positif terhadap guru dan sekolah
Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan yang ada di kelas yakni adanya siswa atau siswi yang kurang senang terhadap dirinya. Sikap negatif ini bisa jadi disebabkan gaya guru mengajar yang kurang bervariasi, gaya mengajar guru tidak sejalan dengan gaya belajar siswa. Konsekwensinya bidang studi yang dipegang guru tersebut menjadi tidak disenangi. Mungkin bisa ditunjukkan dari sikap acuh tak acuh siswa ketika guru tersebut sedang menjelaskan materi pelajaran di kelas.
Ketika mengajar, guru selalu duduk dengan santai dikelas tanpa memperdulikan tingkah laku siswa atau ank didiknya. Ini adalah jalan pengajaran yang sangat membosankan. Dalam hal ini guru gagal menciptakan suasana belajar yang membangkitkan kreatifitas dan kegairahan belajar siswa. Guru yang bijaksana adalah guru yang pandai menempatkan diri dan mengambil hati siswanya. Dengan sikap ini siswa merasa diperhatikan oleh guru. Siswa juga ingin selalu dekat dengan dengan guru. Guru yang dirindukan siswa biasanya dikarenakan gaya mengajarnya dan pendekatannya sesuai dengan psikologis siswa. Variasi gaya mengajarnya mempunyai relevansi dengan gaya belajar siswa.

3. Manfaat Variasi Gaya Mengajar
Mengajar menuntut guru untuk bekerja demi keberhasilan anak didiknya, sehingga kemajuan murid menjadi titik perhatian guru. Rasulullah SAW. menerapkan pengajaran yang sangat memperhatikan perkembangan siswa (sahabat)nya, agar mereka tidak merasa jemu dalam belajar, tersirat dalam hadits :
عـن ابن مسعود قال : كان النبي صلى الله عـليه وسـلم. يتحولـنـا باالمـوعظة فى
الايام كرمة السـامه عليـنا (الحديث)
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud berkata : Nabi SAW. berselang-seling dalam memberikan pelajaran agar terhindar dari kebosanan. (H.R. Bukhari).

C. Prinsip Penggunaan Variasi
Dalam proses belajar mengajar, kegiatan siswa menjadi pusat perhatian guru. Untuk itu agar kegiatan pengajaran dapat merangsang siswa untuk aktif dan kreatif belajar tentu saja diperlukan lingkungan belajar yang kondusif. Salah satu upaya kearah itu adalah dengan cara memperhatikan beberapa prinsip penggunaan variasi dalam mengajar. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Variasi hendaknya digunakan dengan suatu maksud tertentu yang relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam menggunakan keterampilan variasi sebaiknya semua jenis variasi digunakan. Disamping itu juga harus ada variasi penggunaan komponen untuk tiap jenis variasi, terutama penggunaan variasi gaya mengajar, dalam bervariasi harus disesuaikan dengan materi pelajaran yang akan disampaikan agar menarik siswa untuk memperhatikan atau mendengarkan penjelasan guru.
2. Variasi harus digunakan secara lancar dan berkesinambungan, sehingga tidak akan merusak perhatian siswa dan tidak menganggu proses belajar mengajar.
3. Direncanakan secara baik dan eksplisit dicantumkan dalam rencana pelajaran. Jadi penggunaan variasi ini harus benar-benar berstruktur dan direncanakan. Karena variasi ini memerlukan keluwesan, spontan sesuai dengan umpan balik yang diterima dari siswa. Umpan balik ini ada dua yaitu Umpan balik tingkah laku yang menyangkut perhatian dan keterlibatan siswa dan Umpan balik informasi tentang pengetahuan dan pelajaran.

D. Komponen-Komponen Variasi Gaya Mengajar
Dalam mengajar hendaknya menggunakan berbagai macam variasi gaya. Dengan variasi gaya tersebut, akan menjadikan siswa merasa tertarik terhadap penampilan mengajar guru. Variasi gaya mengajar guru ini meliputi komponen-komponen sebagai berikut :

1. Variasi Suara
Variasi suara dalah perubahan suara dari keras menjadi lemah, dan tinggi menjadi rendah, dari cepat menjadi lambat.
Suara guru pada saat menjelaskan materi pelajaran hendaknya bervariasi, baik dalam intonasi, volume, nada dan kecepatan. Jika suara guru senantiasa keras terus atau terlalu keras, justru akan sulit diterima, karena siswa menganggap gurunya seorang yang kejam, bila sudah begitu siswa diliputi oleh rasa cemas, ketakutan selama belajar. Masalah seperti ini yang harus dihindari bahkan ditiadakan. Tapi kalau suara guru terlalu lemah (biasanya guru wanita) akan terdengar tidak jelas oleh siswa dan tidak bisa menjangkau seluruh siswa di kelas, apalagi yang duduknya dideretan belakang. Bila sudah begitu siswa akan meremehkan gurunya, perhatian siswa terhadap materi yang diberikan itupun kurang. Untuk itu guru menggunakan variasi suara yang disesuaikan ndengan situasi dan kondisi. Jadi suara guru senantiasa berganti-ganti, kadang meninggi, kadang cepat, kadang lambat, kadang rendah (pelan).
Variasi suara bisa mempengaruhi informasi yang sangat biasa sekalipun, gunakanlah bisikan atau tekanan suara untuk hal-hal penting, gunakan kalimat pendek yang cepat untuk menimbulkan semangat.

2. Pemusatan Perhatian
Perhatian menurut Ghozali adalah keaktifan jiwa yang dipertinggi, jiwa itupun semata-mata tertuju kepada suatu obyek (benda/hal) atau sekumpulan obyek.
Untuk dapat menjamin hasil belajar yang baik, maka siswa harus mempunyai perhatian terhadap bahan yang diajarinya, jika materi yang disampaikan oleh guru iru tidak menjadi perhatian siswa, maka bisa menimbulkan kebosanan, sehingga tidak lagi suka belajar. Untuk memfokuskan perhatian siswa pada suatu aspek yang penting atau aspek kunci, guru dapat menggunakan atau memberikan peringatan dengan bentuk kata-kata. Misalnya : “Perhatikan baik-baik”, “Jangan lupa ini dicatat dengan sungguh-sungguh” dan sebagainya.
Memang menarik perhatian siswa itu sangatlah tidak mudah apalagi dalam jumlah siswa yang banyak, agar perhatian itu tetap ada perlu adanya prinsip-prinsip yakni :
a. Perhatian seseorang tertuju atau diarahkan pada hal-hal yang baru, jenis rangsangan baru yang dapat menarik perhatian termasuk warna dan bentuk. Dalam pelajaran, seorang guru dapat menarik perhatian tentang kata-kata penting pada suatu bacaan dengan memberi warna merah atau digaris bawahi.
b. Perhatian seseorang tertuju atau terarah pada hal-hal yang dianggap rumit. Bagi guru yang harus diingat adalah suatu pelajaran tidak boleh tampak terlalu rumit dan guru tidak boleh mempersulit pelajaran yang sederhana dikarenakan semata-mata untuk menarik perhatian siswa.
c. Orang mengarahkan perhatiannya pada hal-hal yang dikehendakinya, yaitu hal-hal yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Untuk menimbulkan minat tersebut ada dua cara yakni dari diri sendiri dan dari luar dirinya. Dari luar bisa saja lingkungan, orang tua dan guru. Disini gurulah yang berhak menimbulkan atau membangkitkan minat belajar siswa baik dirumah maupun dikelas.
Dari ketiga prinsip ini guru harus mengetahui banyak tentang siswanya agar bisa mengarahkan perhatian siswa terhadap materi pelajaran, sehingga siswa memiliki minat belajar yang tinggi guru dalam memusatkan perhatian siswa bisa dengan memberikan kata-kata seperti : “coba perhatikan ini baik-baik”, karena materinya agak sulit dan sebagainya.

3. Kesenyapan atau kebisuan guru (Teaching Silence)
Kesenyapan adalah suatu keadaan diam secara tiba-tiba demi pihak guru ditengah-tengah menerangkan sesuatu.
Adanya kesenyapan tersebut merupakan alat yang baik untuk menarik perhatian siswa. Dengan keadaan senyap atau diamnya guru secara tiba-tiba bisa menimbulkan perhatian siswa, sebab siswa begitu tahu apa yang terjadi dan demikian pula setelah guru memberikan pertanyaan kepada siswa alangkah bagusnya apabila diberi waktu untuk berfikir dengan memberi kesenyapan supaya siswa bisa mengingat kembali informasi-informasi yang mungkin ia hafal, sehingga bisa menjawab pertanyaan guru dengan baik dan tepat.
Pemberian waktu bagi siswa digunakan untuk mengorganisasi jawabannya agar menjadi lengkap. Tapi jika seorang guru tidak memberikan kesenyapan atau waktu kepada siswa untuk berfikir dalam menjawab pertanyaannya siswa akan menjawab dengan asal alias asal bicara, sehingga jawabannya kurang tepat dengan pertanyaan. Untuk itu seyogyanya guru memberikan kesenyapan terhadap siswa untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukannya supaya jawabannya sempurna dan tepat.

4. Kontak pandang
Ketika proses belajar mengajar berlangsung, jangan sampai guru menunduk terus atau melihat langit-langit dan tidak berani mengadakan kontak mata dengan para siswanya dan jangan sampai pula guru hanya mengadakan kontak pandang dengan satu siswa secara terus menerus tanpa memperhatikan siswa yang lain. sebaliknya bila guru berbicara atau menerangkan hendaknya mengarahkan pandangannya keseluruh kelas atau siswa, sebab menatap atau memandang mata setiap anak disik atau siswa bisa membentuk hubungan yang positif dan menghindari hilangnya kepribadian. Bertemunya pandang diantara mereka yang berinteraksi, sesungguhnya merupakan suatu etika atau sopan santun pergaulan karena menunjukkan saling perhatian diantara mereka.
Hal-hal yang harus dihindari guru selama presentasinya didepan kelas :
a. Melihat keluar ruang
b. Melihat kearah langit-langit
c. Melihat kearah lantai
d. Melihat hanya pada siswa tertentu atas kelompok siswa saja
e. Melihat dan menghadap kepapan tulis saat menjelaskan kecuali sambil menunjukkan sesuatu.
Hal-hal diatas bertujuan supaya bisa mengendalikan situasi kelas dengan baik.
Jadi dalam kontak pandang hendaknya guru berusaha seintim mungkin agar siswa merasa diperhatikan dan dihargai, kontak mata yang sering dilakukan, akan membangun dan membina jalinan tingkat tinggi, yaitu mengetahui psikologi anak atau siswa dan mengetahui seberapa banyak pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan. Untuk itu, pandanglah siswa-siswa anda secara merata tapi jangan berlebihan, gunanya pandangan mata, seorang guru adalah untuk menarik perhatian dan minat belajar siswa.

5. Perpindahan Posisi Guru
Perpindahan posisi guru dalam ruang kelas dapat membantu dalam menarik perhatian anak didik, dapat pula meningkatkan kepribadian guru dan hendaklah selalu diingat oleh guru, bahwa perpindahan posisi itu jangan dilakukan secara berlebihan. Bila dilakukan berlebihan guru akan kelihatan terburu-buru, lakukan saja secara wajar agar siswa bias memperhatikan.
Perpindahan posisi dapat dilakukan dari muka ke bagian belakang, dari sisi kiri ke sisi kanan, atau diantara anak didik dari belakang kesamping anak didik. Dapat juga dilakukan dengan posisi berdiri kemudian berubah menjadi posisi duduk dan diam di tempat lalu berjalan-jalan mengelilingi siswa dan sebagainya. Yang penting dalam perubahan posisi itu harus ada tujuannya, dan tidak sekedar mondar-mandir dan seorang guru janganlah melakukan kegiatan mengajar dengan satu posisi, misalnya saja saat menerangkan guru hanya berdiri didepan kelas saja atau duduk dikursi saja, tanpa ada pergantian atau variasi ini bisa menimbulkan kebosanan siswa.
Guru melakukan pergantian posisi, sebaiknya jangan kaku atau kikuk, lakukan saja secara bebas dan wajar bisa menarik perhatian siswa, jika guru kaku dalam bergerak ini bisa menjemukan siswa. Dan bila variasi dilakukan secara berlebihan itu juga bisa mengganggu perhatian siswa atau konsentrasi siswa terhadap pelajaran.
Maka dari itu gunakanlah variasi posisi ini secara wajar dan sesuaikan dengan tujuan, tidak sekedar mondar-mandir.

6. Model-Model Belajar
Dalam melaksanakan variasi gaya mengajar, guru hendaknya memperhatikan dan memahami gaya atau model-model belajar siswanya, supaya siswa termotivasi, bersemangat dan berminat dalam belajar. Adapun model-model belajar ada tiga macam, yaitu :
a. Visual
Bagi pelajar visual, belajar yang efektif adalah dengan menggunakan "gambaran keseluruhan" (melakukan tinjauan umum), yakni dengan membaca bahan pelajaran secara sekilas. Cirri-ciri pelajar visual :
1) Teratur, memperhatikan segala sesuatu
2) Mengingat dengan gambar, grafik dan warna untuk meningkatkan memorinya
Dari ciri-ciri diatas, guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menyajikan bahan pelajaran, guru harus bisa menggunakan gambar, warna, untuk menumbuhkan minat belajar siswa dan meningkatkan memori siswa terhadap bahan tersebut. Gaya mengajar guru yang mudah mempengaruhi siswa ini adalah kontak pandang, perpindahan posisi dan eksperimen wajah.
b. Auditorial
Bagi pelajar auditorial, belajar yang efektif adalah dengan mendengar. Untuk itu guru disaat menerangkan dituntut untuk menggunakan variasi, pemusatan, perhatian dan kesenyapan memudahkan dan meningkatkan perhatian siswa dalam belajar.
Ciri-ciri siswa auditorial adalah :
1) Perhatiannya mudah terpecah
2) Berbicara dengan pola berirama
3) Belajar dengan cara mendengar
4) Berdialog secara internal dan eksternal
c. Kinestetik
Bagi pelajar kinestetik, belejar yang efektif adalah dengan melibatkan diri langsung dengan aktifitasnya, jadi merekacenderung pada eksperimen (gerak).
Ciri-ciri siswa kinestetik adalah :
1) Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca
2) Mengingat sambil melihat langsung
Disini guru dianjurkan melibatkan siswa saat proses belajar mengajar berlangsung, menggunakan metode eksperimen, bahasa tubuh guru hendaknya bervariasi, supaya menarik perhatian siswa dan mempermudah pemahaman siswa terhadap materi tersebut.
























BAB III
KESIMPULAN

Variasi mengajar sangat diperlukan dalam proses belajar mengajar . Komponen-komponen variasi menajar seperti variasi gaya mengajar, variasi media, dan bahan ajaran dan variasi interaksi , mutlak dikuasi oleh guru untuk menggairahkan belajar anak didik dalam waktu relatif lama dalam suatu pertemuan kelas.
Keterampilan mengadakan variasi dalam proses belajar mengajar akan meliputi tiga aspek, yaitu variasi dalam gaya mengajar, variasi dalam menggunakan media dan bahan pengajaran, dan variasi dalam interaksi antara guru dan siswa.
Apabila ketiga komponen tersebut dikombinasikan dalam penggunaannya atau secara integrasi, maka akan meningkatkan perhatian siswa, membangkitkan keinginan dan kemampuan belajar. Keterampilan dalam mengadakan variasi ini lebih luas penggunaannya daripada keterampilan lainnya, karena merupakan keterampilan campuran atau diinegrasikan dengan keterampilan yang lain. Misalnya, cariasi dalam memberikan penguatan, variasi dalam memberi pertanyaan, dan variasi dalam tingkat kognitif.
Tecapainya tujuan pembelajaran tersebut bila setiap siswa mencapai penguasaan terhadap materi yang diberikan dalam suatu pertemuan kelas. Indikator penguasaan siswa terhadap materi pelajaran adalah terjadinya perubahan di dalam diri siswa. Jadi, perhatian adalah masalah yang tidak bias dikesampingkan dalam konteks pencapaian tujuan pembelajaran.
Guru yang bijaksana adalah guru yang pandai menempatkan diri dan pandai mengambil hati siswa. Dengan sikap ini siswa merasa diperhatikan oleh guru. Siswa selalu ingin dekat dengan guru. Ketiadaan guru barang sehari di sekolah tidak jarang dipertanyakan. Siswa merasa rindu untuk selalu dekat di sisi guru. Guru seperti itu biasanya karena gaya mengajarnya dan pendekatannya yang sesuai dengan psikologis siswa. Variasi mengajarnya mempunyai relevansi dengan gaya belajar siswa. Di sela-sela penjelasan selalu diselingi humor dengan pendekatan yang edukatif, jauh dari sikap permusuhan.
DAFTAR LITERATUR
 Josephus Ignatius Gerardus dkk “Sekolah: mengajar atau mendidik?”, Kanisius. 1998
 Kushartanti dkk,, “Pesona bahasa: langkah awal memahami linguistic”, Gramedia Pustaka Utama, 2005
 Sumitra Kalapaking dan Sugiono Suryaningtias “Ilmu pendidikan sejati”, s.n., 1982
 Abd. Rahman Shaleh, “Pendidikan agama & pembangunan watak bangsa”, RajaGrafindo Persada, 2005
 Ary H. Gunawan, “Sosiologi pendidikan: suatu analisis sosiologi tentang pelbagai problem pendidikan”, Rineka Cipta, 2000
 Drs Syaiful Bahri Djamara dan Drs Aswan Zain; Strategi Belajar Mengajar, :Penerbit Rhineka Cipta, Cetakan ke tiga , Agustus 2006, Jakarta
 Roestiyah N K; Strategi Belajar Mengajar ; Penerbit Rhineka Cipta, Cetakan ke tujuh , Maret 2008, Jakarta
 Moh Uzer Usman dan Lilis SEtiawati; Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, ,;Penerbit PT Remaja Rosdakarta, Cetakan pertama, 1993, Bandung.
 Hamalik, O, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru, 1992
 Tohirin, Psikologi Pembelajaran PAI, Rineka Cipta, Jakarta, 2005
 Prof. Dr Azhar Arsyad,M.A , Media Pembelajaran, PT Rajagrafindo, edisi ke 9 , 2007. Jakarta

Minggu, 11 Januari 2009

politik islam 4

SISTEM POLITIK INDONESIA

Sistem politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem politik Indonesia. Secara spesifik akan dikaji mengenai sistem politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pokok bahasan :
1. Pengertian sistem politik Indonesia
2. Sejarah Sistem Politik Indonesia (zaman pra kolonial, kolonial, orde lama, orde baru, dan reformasi)
3. Sistem Kepartaian
4. Sistem Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD
5. Sistem Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden
6. Sistem Pemilihan Umum Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota)
7. Fungsi dan Kedudukan Eksekutif
8. Fungsi dan Kedudukan Legislatif
9. Fungsi dan Kedudukan Yudikatif
10. Fungsi dan Kedudukan Lembaga Negara masa Reformasi
- Komisi Pemilihan Umum (KPU)
- Mahkamah Konstitusi (MK)
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
- Komisi Yudisial (KY)


Referensi :
1. Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988
2. Fisip UI, Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Bandung, Mizan, 1998
3. Arief Rahman, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, Intelektual Club, 2001
4. Hartono Mardjono, Reformasi Polisik Suatu Keharusan, Jakarta, GIP,

Pertumbuhan Politik Pada Masa Kerajaan Islam

Kehidupan Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram terwujud, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar dari kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. Untuk menambah pemahaman Anda tentang kekuasaan Mataram pada masa Sultan Agung maka simaklah gambar 12 berikut ini.
Setelah Anda menyimak gambar 12 tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa daerah-daerah tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
Untuk selanjutnya silahkan Anda diskusikan dengan teman-teman Anda mencari penyebab kegagalan yang lain serangan Mataram ke batavia. Hasil diskusi Anda dapat dikumpulkan pada guru bina Anda dan kemudian lanjutkan menyimak uraian materi selanjutnya.
Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II, Amangkurat III, Paku Buwono I, Amangkurat IV, Paku Buwono II, Paku Buwono III merupakan raja-raja yang lemah. Sehingga pemberontakan terjadi antara lain Trunojoyo 1674-1679, Untung Suropati 1683-1706, pemberontakan Cina 1740-1748.
Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
VOC berhasil menaklukan Mataram melalui politik devide et impera, kerajaan Mataram dibagi dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah :
1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
2. Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
Demikianlah perkembangan politik kerajaan Mataram. Untuk menambah pemahaman Anda, buatlah silsilah raja-raja Mataram dari awal berdirinya Mataram sampai tahun 1757. Sebagai referensinya Anda dapat membaca buku paket Sejarah Nasional Jilid II (Depdikbud) di perpustakaan sekola induk Anda. Selanjutnya silahkan Anda simak uraian materi tentang kehidupan ekonomi dan sosial budaya berikut ini.

Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Mengenai awal dan tahun berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi menurut pendapat Prof. A. Hasymy, berdasarkan naskah tua yang berjudul Izhharul Haq yang ditulis oleh Al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang, sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureula (Perlak) pada pertengahan abad ke-9.
Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak mengalami kemunduran.
Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudra yang berhasil mempersatukan daerah Samudra dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai.
Kerajaan Samudra Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Selat Malaka. Untuk mengetahui letak Samudra Pasai, simaklah gambar 6 peta Sumatera berikut ini.
Berdasarkan lokasi kerajaan Samudra Pasai tersebut, maka dapatlah dikatakan posisi Samudra Pasai sangat strategis karena terletak di jalur perdagangan internasional, yang melewati Selat Malaka.
Dengan posisi yang strategis tersebut, Samudra Pasai berkembang menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudra Pasai berkembang sebagai bandar transito yang menghubungkan para pedagang Islam yang datang dari arah barat dan para pedagang Islam yang datang dari arah timur. Keadaan ini mengakibatkan Samudra Pasai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada masa itu baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Kehidupan Politik
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batutah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam. Dengan demikian karena tidak adanya data sejarah yang lengkap, maka runtuhnya Samudra Pasai tidak diketahui secara jelas. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah paham? Kalau sudah paham simak uraian materi berikutnya.

Kerajaan Demak
Demak sebelumnya merupakan daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit.
Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, di mana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
Untuk menambah pemahaman Anda tentang lokasi kerajaan Demak, maka simaklah gambar 8 berikut ini!

Kehidupan Politik
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 – 1518).
Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 – 1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521 – 1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.
Untuk menambah pemahaman Anda tentang kekuasaan Demak tersebut, simaklah gambar 9 peta kekuasaan Demak berikut ini.
Setelah Anda mengamati gambar peta kekuasaan Demak tersebut, yang perlu Anda ketahui bahwa daerah kekuasaan tersebut berhasil dikembangkan antara lain karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan.
Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis dapat dipukul mundur ke Teluk Jakarta.
Kemenangan gemilang Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan (Hindu) dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan berhasil direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan.
Dengan meninggalnya Sultan Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra Sekar Sedolepen).
Perang saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
Dari penjelasan tersebut, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak uraian materi selanjutnya.

Kerajaan Banten
Banten awalnya merupakan salah satu dari pelabuhan kerajaan Sunda. Pelabuhan ini direbut 1525 oleh gabungan dari tentara Demak dan Cirebon. Setelah ditaklukan daerah ini diislamkan oleh Sunan Gunung Jati. Pelabuhan Sunda lainnya yang juga dikuasai Demak adalah Sunda Kelapa, dikuasai Demak 1527, dan diganti namanya menjadi Jayakarta.

Kehidupan Politik
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut.
Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda.
Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta.
Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602. Selain mendirikan benteng di Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684. Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.

Kerajaan Gowa – Tallo
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal dari Indonesia bagian Barat.
Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Maka untuk menambah pemahaman Anda tentang perkembangan kerajaan Makasar tersebut, silahkan simak uraian materi berikut ini.

Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah. Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 – 1653).
Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Demikianlah kehidupan politik tentang kerajaan Makasar. Untuk selanjutnya Anda dapat menyimak uraian materi kehidupan ekonomi berikut ini.

politik islam 3

PEMIKIRAN POLITIK SUNNI
Pendahuluan
Sunni , sebutan pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, adalah nama sebuah aliran pemikiran (school of thought) yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah (the follower of the sunnah), yaitu sebuah jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadith: "Ma ana 'alaih wa ashabi". Jama'ah berarti mayoritas, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yaitu 'ammah al-muslimun (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah al-kathir wa al-sawad al-'azm (jumlah besar dan khalayak ramai).
Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah sebenarnya sudah terformat sejak masa awal Islam yang ajarannya merupakan pengembangan dari dasar pemikiran yang telah dirumuskan sejak periode sahabat dan tabi'in. Yaitu pemikiran keagamaan yang menjadikan hadith sebagai rujukan utamanya setelah al-Qur'an. Nama ahl al-hadith diberikan sebagai ganti ahl al-Sunnah wa-Jama'ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan merupakan antitesis dari paham Khawarij dan Mu'tazilah yang tidak mau menerima al-hadith (al-Sunnah) sebagai sumber pokok ajaran agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama'ah) awalnya merupakan nama bagi aliran Asy'ariyah dan Maturidiah yang timbul karena reaksi terhadap paham Mu'tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Ato' pada tahun 100 H/ 718 M dan mencapai puncaknya pada masa khalifah 'Abbasiyah, yaitu al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini semakin kuat ketika paham Mu'tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada masa al-Ma'mun.
Pembahasan
Kaum sunni pada dasarnya adalah kelompok yang ikut andil besar dalam menggulingkan dawlah Amawiyah dan mendukung kepemimpinan Bani 'Abbasiyah bersama golongan Khawarij, Shi'ah dan orang-orang non Arab. Sehingga mereka harus bersaing dengan kelompok Shi'ah (yang didominasi orang-orang Persia) dalam memperoleh akses kekuasaan ketika bani 'Abbasiyah berkuasa.
Kaum Shi'ah memperoleh angin ketika di awal pemerintahan 'Abbasiyah dengan diadopsinya paham ini sebagai paham negara dan dihembuskannya kembali paham Imamah oleh penguasa untuk memperoleh dukungan yang luas terhadap pemerintahan mereka. Hal ini berlangsung terus sampai pemerintahan Khalifah al-Mahdi (775-785 M). Dan selama pemerintahan tersebut posisi Sunni benar-benar terjepit.
Pada masa pemerintahan al-Ma'mun, hubungan Sunni dan Mu'tazilah adalah hubungan antagonistik. Hal ini terjadi terutama pada saat paham Mu'tazilah dijadikan paham negara al-Ma'mun dan al-Mu'tasim. Pada saat itulah dipaksakanlah keyakinan bahwa al-Qur'an adalah makhluq (Mihnah/ujian aqidah/inkuisisi) bagi setiap orang Islam dengan segala resiko bagi yang tidak mengikutinya. Akibatnya banyak diantara ulama yang semula bersikap menolak, terpaksa harus menerimanya. Ahmad ibn Hanbal dan Muhammad Nuh adalah sebagian kecil dari kaum ulama yang bersikeras tetap menolaknya. Persilihan antara golongan ahl-al-Hadith (Sunni) dengan Mu'tazilah yang semula dilatarbelakangi isu-isu teologis berubah menjadi kepentingan politik untuk memasyarakatkan ideologinya. Konflik itu oleh W. Montgomery Watt disebut sebagai konflik antara kelompok Autokritik (Mu'tazilah) dengan kelompok Konstitusionalis (Sunni).
Tatkala al-Mutawakil (847-864) berkuasa, ia melihat bahwa posisinya sebagai khalifah perlu mendapatkan dukungan mayoritas. Sementara, setelah peristiwa mihnah terjadi mayoritas masyarakat adalah pendukung dan simpatisan Ibn Hanbal. Oleh karenanya al-Mutawakil membatalkan paham Mu'tazilah sebagai paham negara dan menggantinya dengan paham Sunni. Pada saat itulah Sunni mulai merumuskan ajaran-ajarannya. Salah seorang tokohnya, al-Shafi'i munyusun 'Ushul al-Fiqh yang di dalamnya mengandung ajaran tentang Ijma' dan Qiyas. Dalam bidang Hadith lahir tokoh Bukhari dan Muslim. Dalam bidang Tafsir, lahir al-Tabbari dan Ibn Mujahid. Pada masa inilah kaum Sunni menegaskan sikapnya terhadap posisi Uthman dan 'Ali dengan mengatakan bahwa masyarakat terbaik setelah nabi adalah Abu Bakar, Umar, Uthman dan 'Ali.
Berbeda dengan Mu'tazilah, pertikaian antara Sunni (Ahl al-Hadith) dan Shi'ah selalu diwarnai demensi politik. Mereka berusaha bersaing untuk menggunakan lembaga negara sebagai sarana untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang dirumuskan oleh para tokohnya. Diantara para tokohnya adalah Khalifah al-Buyid (945-1055 M) yang mengeluarkan doktrin tentang tidak adanya imam ke-12. Pada masa inilah muncul tokoh yang mengklaim dirinya sebagai pelopor dari lahirnya Sunni, yaitu al-Qadir (keturunan Khalifah al-Muqtadir), yang menerbitkan Risalat al-Qadiriyyah yang berisikan tentang doktrin-doktrin ajaran Sunni dan menyatakan bahwa negara melarang penyebaran doktrin "kemahlukan al-Qur'an" karena bertentangan dengan ideologi negara dan mayoritas warga yang perpaham Sunni. Pengaruh Sunni terus berkembang terutama setelah tahun 1055 ketika Baghdad ditahlukkan oleh Dinasti Saljuk-Turki. Pada abad 11 inilah dimulainya abad kebangkitan kembali kaum Sunni.
Pada saat itu juga telah dikembangkannya konsep kepemimpinan oleh para tokoh-tokoh Sunni. Diantaranya adalah seorang khalifah harus dipilih oleh rakyat (masyarakat). Tetapi beberapa tokoh lain memperbolehkan penunjukkan khalifah oleh khalifah sebelumnya yang penting memenuhi syarat-syarat tertentu, diantaranya, dia harus seorang yang adil, berilmu, sehat lahir batin, dari keturunan suku Quraish dari bani Hasyim atau Umayyah.
Pandangan semacam tersebut bisa dilihat dari gagasan-gagasan yang telah dimunculkan oleh 'Abdullah ibn al-Muqaffa', seorang sekretaris negara di masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur (754-755 M) sebelumnya. Juga pemikiran Imam Abu Yusuf, seorang qadi (hakim) di zaman al-Mahdi (775-785 M) dan Harun al-Rasyid (786-809 M) yang tertulis dalam kitab al-Kharaj yang berisi tentang teori keuangan negara. Secara umum, pemikiran kelompok Sunni menekankan pada ketaatan absolut terhadap khalifah yang sedang berkuasa, sebab ia dipandang sebagai khalifah yang suci sebagaimana konsep Imamah dalam Shi'ah. Hal yang perlu dicatat di sini adalah, meskipun bani 'Abbasiyah bercorak Sunni namun mereka mengadopsi teori Imamah-nya kaum Shi'ah untuk mendukung pemerintahannya.
Pemikir lainnya dari Sunni 'Abbasiyah adalah Ahmad ibn Yusuf, dia menulis surat yang terkenal yaitu Risala al-Khamis yang dipersembahkan kepada khalifah al-Ma'mun yang berisikan propaganda 'Abbasiyah, yang berisikan pernyataan yang berusaha meyakinkan khalifah bahwa memang yang berhak mewarisi kepemimpinan rasul adalah keturunan 'Abbasiyah. Hingga puncak pemikiran Sunni 'Abbasiyah adalah dituliskannya Kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah oleh al-Mawardi pada masa Buwayhid yang merebut Baghdad dari kekuasaan al-Qadir yang berisikan tentang konsep imamah, suksesi, kepangkatan dan keistimawaan, tugas dan fungsi imam, turun tahta dan teori tentang pemberontakan.
Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa institusi imamah adalah kebutuhan yang didasarkan pada syariah agama bukan hanya pertimbangan rasio belaka. Pengangkatan seorang imam harus melalui konsesus ummat. Al-Mawardi merinci bahwa idealnya seorang imam harus memiliki 7 kriteria, diantaranya adalah bahwa ia harus keturunan suku Quraysh, perlunya pembentukan lembaga pemilihan umum dan kualifikasi para pengelolanya, hak suara harus diberikan kepada seluruh umat Islam, tidak hanya yang berada dalam kota-kota besar, seorang imam bisa dipilih dengan 2 cara, lewat lembaga pemilihan umum dan lewat penunjukan imam yang sedang berkuasa. Al-Mawardi berpendapat bahwa seorang khalifah pada dasarnya cukup di pilih seorang saja. Pendapat ini didasarkan fakta sejarah bahwa Abu Bakr dan Uthman hanya dipilih oleh 5 orang dan juga tradisi dari 'Abbas. 'Abbas pernah berkata kepada 'Ali:
"Angkat tanganmu, aku akan bersumpah setia padeamu, dan ketika semua orang tahu bahwa paman nabi telah bersumpah setia kepada keponakannya, maka tidak akan ada seorangpun yang akan keberatan terhadap kepemimpinanmu".

Kesimpulan
Secara singkat dapat dikatakan bahwa pemikiran politik Sunni pertama kali muncul sebagai respon reaktif terhadap pemikiran-pemikiran Shi'ah dan Khawarij pada masa khalifah 'Ali ibn Abi Thalib.
Dalam proses pembentukannya, ideologi Sunni ternyata tidak dapat dilepaskan dari pemikiran keagamaan mereka dan adanya ketegangan-ketegangan dengan golongan lain untuk memperoleh pengakuan dari penguasa. Dalam masa formal ideologi Sunni tersebut, misalnya telah terjadi polemik intelektual antara al-Syafi'I dengan ulama-ulama Khawarij dan Mu'tazilah, dan perebutan mencari pengaruh politik dari para khalifah yang sedang berkuasa.
Diperlukan waktu hampir 5 abad untuk sampai pada proses terbentuknya pemikiran politik Ahl al-Sunnah ini, terhitung sejak mulai diperkenalkannya pada masa awal Islam, sahabat, tabi'in sampai pada pengukuhannya dalam Risalah al-Qadiriyyah.















Bibliografi

• Al-'Amid, Abd al-Razaq Muhammad Aswad,al-Muhal ila Dirasat al-Adyin wa al-Madhahib, juz 2, Bairut: Dar al-'Arabiyah li al-Mausu'at,1981. Esposito, John L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, vol. 3, New York: Oxford University Press, 1995.
• Nasution, Harun, Theologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986.
• Hasan, Ahmad, al-Ashafi'is Role in the Development of Islamic Jurisprudience, Islamic Studies vol 5, 1996. Hastings, James, at. Al., Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vol. XII, New York: Charles Scribner's Sons, 1955.
• Khan, Qamar al-Din, al-Mawardi's Theory of the State, Lahore: Bazm-I-Iqbal, tt. Kennedy, Hugh, The Prophet and the Age of the Calipathes, London: Longman, 1986. Spellberg, DA., Politics, Gender, and the Islamic Past, New York: Columbia University Press, 1994.
• Team, Ensiklopedi Islam I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.














A.PENDAHULUAN

Dalam berbagai macam pemikiran politik yang akan dibahas dalam makalah ini, agar kita mengetahui beberapa pandangan-pandangan, masing-masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti dari pemikiran berbagai kelompoknya.
Suatu hal yang perlu dibahas dalam dunia berpolitikan Nabi muhammad SAW dalam prakteknya mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin baik negara madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting. Namun sangatlah penting menenai piagam madinah yang menjadi sebuah konstitusi daerah kepemimpinan Nabi muhammad SAW tidak menyebut agama negara. Pola pikir politik sangat perlu kepada pemerintah yang berkuasa, pemikiran-pemikiran politik cendrung membelah dan mempertahankan kekuasaan.

B. Pemikiran poliik sunni mengapa tema ini penting?
Karena untuk memahami dengan mengetahui isi makalah, dan apa yang akan dijelaskan dalam isi makalah karena makalah ini menceritakan tentang pemikiran politik sunni, syi’ah, khawarij dan muta’kzilah.

C. Pemikiran Politik Sunni
Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik sunni cenderung membelah dan mempertahankan kehidupan kekuasaan. Jarang pula pemikiran politik dan kewarganegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah namun atas pendapat ini mujar ibnu syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini dipersentasekan bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.
Ibnu taimiyah telah merumuskan bahwa 60 tahun berada dibawah rezim penguasa zalim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Ibnu taimiya menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan untuk umat islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya, tetapi juga untuk menjamin berjalannya hukum-hukum tuhan. Sebagai konsekuensi dari kekuasaan kepala negara yang saklar, ibnu tamiya berpendapat bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya. Karena kekuasaan bersifat mutlak, tidak dapat digangu gugat oleh siapa pun. Bahkan ibnu tamiyah mengharamkan umat islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat pada Allah SWT. Bahwasannya sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial.
Ciri didalam pemikiran politik golongan sunni ini adalah penekanan mereka erhadap suku quraisy sebagai kepala negara walaupun ibnu abi rabi’ tidak menyingungnya secara tegas, dan muhammad iqbal memasukan pemikiran yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku quraisy di dalam pemikiran politiknya.

D. Pemikiran Politik Syi’ah
Mengenai delahiran kelompok ini banyak sekali aneragamnya, sebagaiman dijelaskan oleh iqbal yang menyatakan bahwasannya syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang sejak wafatnya Nabi muhammad Swa telah mendominasikan dalam peraturan politik islam. Selanjutnya munawir sjadzali menyatakan titik awal dari lahirnya syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan abu bakar. Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi muhammad Swa yaitu pada saat perbuatan ;kekuasaan antara golongan muhajirin dan anshor di balai pertemuan sqifah bani sa’idah. Abu zugroh memperkuat atas pendapat dengan menyatakan bahawasannya syi’ah adalah mashab politik yag pertama kali lahir dalam islam mazhab mereka tampil pada akhir masa pemerintahan utsman, kemudian tampil pada akhir masa ali.
Kaum syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :
1. harus ma’saum ( terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
2. seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat.
3. seseorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan.
4. imam adalah pembelah agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Nabi hanya menetapkan siat-sifat yang mustinya dimiliki seseorang imam yang akan menggantikan beliau. Kaum syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat khawalij yang mengakukan, ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Yaitu mengankat dan memutuskan pada tingkat ma’saum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasyiat nabi sebagai imam untuk pengganti nabi.

E. Pemikiran Politik Khawarij
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisakan diri dari barisan ali setelah arbitase atau tahkim untuk menerima yang mengakhiri perseruan dan kontak senjata antara ali dan mu’wiyah di siffin. Pengikut khawarij terdiri dari suku arab badu’I yang masih sederhana secara berpikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ektrim dan sulit menrima perbeaan pendapat dan di teragkan oleh ABU Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok khawrj pada umumnya terdiri atas orang arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal,sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpeah-pecah menjadi beberapa kelompok.
1. penangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasaran pelimihan yang benar- benar bebas dan di lakukan oleh semua umat islam tanpa deskriminasi.
2. Jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga arab tertentu, untuk memegang jabatan kkhalifah.
3. pengangkatan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyampaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengfangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan sya’ra tetapi hanya bersifat kebolehan.
Pengikut khawarij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemasalahatan manusia saja mereka mengangap kepala negara sebagai seseorang yang sempurna iqbal menjelaskan bahwasannya khawarij mengunakan mekanisme untuk mengontrol pelaksanan tugas-tugas pemerintahan.

F. Pemikiran Politik Mu’tazilah
Penamaan kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri. Tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan, pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam sendiri.

Penutup
Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam islam. Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok sunni. Kedua, aliran teokrasi yang diawali oleh syi’ah. Ketiga , aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij dengan mengetahui politik masing-masing goloongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan diatas betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan-perbedaan.
Ibnu taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepala negara atau raja merupakan mandat dari tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, dan disebut pula bahwa pemikiran itu berpendirian khalifah adalah bayang-bayang Allah Swt dari bumi, disamping itu allah mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati mengagungkan dan menaati perintah karena sumber kekuasaan adalah tuhan Allah Swt.

politik islam 2

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER

Ada beberapa Kategorisasi atau tipologisasi: pemikiran politik Islam yang organik tradisional, yang sekuler dan moderat.

A. Tipologi Pemikiran Politik Islamic Organik Tradisional.
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-‘ala al-Maududi.

1. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur’an, hadis dan ijma’ pun menghendakinya.
Tentu saja ahl al-hall wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-‘aqd anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.
Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, di mana Rosenthal menganggapnya berada dalam posisi utopis dan romantis, bagaimanapun Rasyid Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.
Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi. Keduanya telah mengembangkan yang dalam istilah Profesor Majid Khadduri, devine nomocracy (negara hukum Ilahi) atau menurut Istilah Profeser Tahir Azhari Nomokrasi Islam.

2. Sayyid Qutub dan al-Maududi
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat. Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari’ah). Sayyid Quthb dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam pengertian konsep politik Barat ., karena manusia hanyalah pelaksana kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.
Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari’at. Manusia diberik kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari’at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid), Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip ini.
Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang disebut syari’ah.
Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan nama khilafah kolektif.
Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua, pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.

B. Tipologi Pemikiran Politik Islam Sekuler
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq dan
Luthfi al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm.

Pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan. Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an, menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada dasarnya bersifat sekuler.
Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaumMuslimin tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.
Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen, Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari’at, melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.

C. Tipologi Pemikiran Politik Islam Moderat
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal (lahir 1888), Muhammad Abduh (1862-1905), dan Fazlurrahman.

1. Muhamad Husein Haikal (lahir 1888)
Menurut Haikal, di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak terdapat prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur’an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai’at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah (hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa keadilan, dan takwa.



2. Muhammad Abduh (1862-1905)
Muhammad Abduh, meskipun hidup jauh sebelum Haikal dan guru dari Ridha mauppun Raziq, tampaknya masuk kategori ketiga. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentukpemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama. Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan agama.
Jelasnya menurut Abduh, Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama dalam arti: (1) Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan; (2) Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang, penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan keagamaan orang lain; (3) Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lain.
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.
Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatny/a. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan.
Dalam hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat. Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahat yang ingin dicapai.
Dengan kekuasaan politik, Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.
Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, Suyuthi Pulungan menyimpulkan bahwa tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan pemerintahan, lanjut Sayuti, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam. Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia, juga harus melaksanakan prinsip-prinsip Islam.

3. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur’an dan Hadis, preferensi Islam adalah sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan) adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra (musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli wa al–‘alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di muka.
Sebagaimana Fazlur-Rahman, Arkoun juga berpendapat sama. Pertama-tama ia menjelaskan perbedaan antara kekuasan dan wewenang. Wewenang menurutnya bersifat mistis-teologis seperti ketika Nabi di Mekah dan kekuasan bersifat rasional seperti ketika Nabi di Madinah yang selalu dikelilingi dewan yang beranggotakan paling tidak 10 orang. Selanjutnya, Arkoun menerima pernyataan Ibn Khaldun bahwa sistem kekhalifahan tidak berbeda dengan sistem kerajaan yang dominatif dan hegemonik yang telah melakukan tindakan sakralisasi terhadap yang duniawi seperti terlihat pada terminologi bai’ah dan wakil Allah di muka bumi. Dari sini kemudian ia lebih menyetujui negara demokratis, mengkritik para ulama yang telah ikut melestarikan status quo kekuasaan dinasti yang jauh dari moral Islam, dan mengecam pelaksanaan konsep dzimmi (yang terlindung) bagi masyarakat non Muslim.
Dalam pandangannya, kendati penerapan konsep itu lebih baik dibanding dengan kaum Muslimin yang hidup di tengah mayoritas umat agama lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa model toleransi dzimmi tersebut adalah model toleransi tanpa peduli. Ini karena ia biasanya disertai dengan tindakan mengurangi peran kelompok lain yang non Muslim. Sebagai pemikir modern, Arkoun di satu sisi mengkritik habis
sekularisasi gaya Ataturk di Turki yang bagi Arkoun merupakan bentuk kesadaran naif yang didasari oleh kekagetan budaya, tetapi di pihak lain ia juga menolak pembentukan negara Islam, ala Khomeini karena telah melakukan sakralisasi terhadap sesuatu yang sebenarnya duniawi. Adapun prinsip kenegaraan dalam Islam adalah syûra, ijtihâd, dan penerapan syari’at yang tujuannya, bagi Arkoun, untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, bertanggung jawab, dan bermartabat, sehingga anggota masyarakat Muslim diridhai Allah dalam menjalankan tugas pribadi dan sosialnya secara harmonis.

politk islam 1

SEJARAH SISTEM POLITIK INDONESIA

Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Perubahan ini besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5 kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi pemerintah Kapabilitas Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
2. Kapabilitas Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat terkekang.
3. kapabilitas simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
4. kapabilitas responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output, output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas responsif.
5. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional. Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower) memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada negara-negara berkembang.
Ada satu pendekatan lagi yang dibutuhkan dalam melihat proses politik yaitu pendekatan pembangunan, yang terdiri dari 2 hal:
1. Pembangunan politik masyarakat berupa mobilisasi, partisipasi atau pertengahan. Gaya agregasi kepentingan masyarakat ini bisa dilakukans ecara tawaran pragmatik seperti yang digunakan di AS atau pengejaran nilai yang absolut seperti di Uni Sovyet atau tradisionalistik.
2. Pembangunan politik pemerintah berupa stabilitas politik




PROSES POLITIK DI INDONESIA
Sejarah Sistem politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa berikut ini:
o Masa prakolonial
o Masa kolonial (penjajahan)
o Masa Demokrasi Liberal
o Masa Demokrasi terpimpin
o Masa Demokrasi Pancasila
o Masa Reformasi
Masing-masing masa tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
o Penyaluran tuntutan
o Pemeliharaan nilai
o Kapabilitas
o Integrasi vertikal
o Integrasi horizontal
o Gaya politik
o Kepemimpinan
o Partisipasi massa
o Keterlibatan militer
o Aparat negara
o Stabilitas

Bila diuraikan kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa prakolonial (Kerajaan)
o Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
o Pemeliharaan nilai – disesuikan dengan penguasa atau pemenang peperangan
o Kapabilitas – SDA melimpah
o Integrasi vertikal – atas bawah
o Integrasi horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
o Gaya politik - kerajaan
o Kepemimpinan – raja, pangeran dan keluarga kerajaan
o Partisipasi massa – sangat rendah
o Keterlibatan militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
o Aparat negara – loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
o Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil dimasa perang

2. Masa kolonial (penjajahan)
o Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak terpenuhi
o Pemeliharaan nilai – sering terjadi pelanggaran ham
o Kapabilitas – melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
o Integrasi vertikal – atas bawah tidak harmonis
o Integrasi horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
o Gaya politik – penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
o Kepemimpinan – dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
o Partisipasi massa – sangat rendah bahkan tidak ada
o Keterlibatan militer – sangat besar
o Aparat negara – loyal kepada penjajah
o Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah pecah

3. Masa Demokrasi Liberal
o Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
o Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
o Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
o Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
o Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
o Gaya politik - ideologis
o Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
o Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
o Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
o Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
o Stabilitas - instabilitas


4. Masa Demokrasi terpimpin
o Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
o Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
o Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
o Integrasi vertikal – atas bawah
o Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
o Gaya politik – ideolog, nasakom
o Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistik
o Partisipasi massa - dibatasi
o Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
o Aparat negara – loyal kepada negara
o Stabilitas - stabil

5. Masa Demokrasi Pancasila
o Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
o Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
o Kapabilitas – sistem terbuka
o Integrasi vertikal – atas bawah
o Integrasi horizontal - nampak
o Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
o Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
o Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
o Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
o Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
o Stabilitas stabil

6. Masa Reformasi
o Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
o Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
o Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
o Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
o Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
o Gaya politik - pragmatik
o Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
o Partisipasi massa - tinggi
o Keterlibatan militer - dibatasi
o Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
o Stabilitas - instabil

jurnalistik 3

BAB I
PENDAHULUAN

Sunting awalnya merupakan kata benda yang bermakna hiasan yg dicocokkan di rambut atau di belakang telinga. Kata kerjanya menjadi menyuntingkan yaitu :
1. Mencocokkan bunga dan sebagainya pada rambut atau di belakang telinga sebagai hiasan;
2. Selanjutnya, sunting memiliki makna lain sebagai kata kerja yang dipadankan dengan editing dalam dunia penerbitan.
Dengan melihat asal usul katanya, tampak bahwa editing lebih dekat dengan seni untuk mencocokkan atau menyelipkan sesuatu sebagai hiasan. Lalu, dalam soal pernaskahan, editing menjadi seni memilah, memeriksa, dan menata kata-kata sehingga layak untuk dipertunjukkan ke publik pembaca. Para pelakunya kemudian disebut penyunting sebagai padanan dari editor.
Dalam soal kedalaman makna, tentu bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih dalam dan menyentuh. Menyunting benar-benar mengandung pengertian segala aspek editing, seperti editing mekanik, editing substantif, dan editing gambar. Karena itu, sungguh tepat siapa pun yang mengusulkan sunting menjadi padanan kata editing dalam bahasa Indonesia.
Saya setuju bahwa menyunting adalah seni seperti halnya tipografi sebagai seni memilih, menata, dan menggunakan huruf atau font. Menyunting merupakan seni memilih, menata, dan mempublikasikan naskah. Dengan demikian, seorang penyunting harus memiliki rasa seni dan cinta keindahan. Seorang penyunting harus peka terhadap unsur-unsur kehidupan yang membuat naskah garapannya menjadi berdaya dan memiliki kekuatan mengubah pembaca.
Menyunting adalah membuat perubahan, baik dari sisi substansi maupun sisi kemasan, bahkan termasuk mengubah banyak subjek yang terlibat, seperti penulis, penerbit, dan pembaca. Karena itu, para penyunting juga merupakan agen perubahan dan ia harus bisa memosisikan diri dengan baik.
Sebuah tulisan di dalam naskah memang harus bisa menghipnosis dan demikianlah tujuan penerbitan sesungguhnya. Judul harus menghipnosis, tampilan desain harus menghipnosis, daftar isi harus menghipnosis, dan juga isi tentunya harus menghipnosis.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsisp Dasar Bahasa Jurnalistik/Pers
Menurut JS Badudu (2005) bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas di antaranya:
1. Singkat
2. Padat
3. Sederhana
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga .
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah mati.
Terdapat empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan para ahli, yaitu :
1. Prinsip prosesibilitas,
Menganjurkan agar teks disajikan sedemikian rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam proses memahami pesan penulis harus menentukan a)bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan; b)bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan, dan c)bagaimana mengurutkan satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini. Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting mendahului struktur sintaksis yang tidak penting.
2. Prinsip kejelasan,
yaitu agar teks itu mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat dipahami.
3. Prinsip ekonomi.
4. Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat pula disebut prinsip ikonisitas.
Prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan kemudian.
Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea Bahasa jurnalistik juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya.
1. Pemakaian kata-kata yang baik dan benar.
Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam Bahasa Indonesia Jurnalistik diperhadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata.
Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
2. Penggunaan kalimat efektif.
Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.
3. Penggunaan alinea/paragraf yang kompak.
Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain.

B. Proses Editing (Menyunting Naskah)
Ada dua proses penyuntingan. Meliputi :
1. Penyuntingan Secara Redaksional
Kegunaan dari penyuntingan ini agar naskah lebih logis, mudah dipahami, dan tidak rancu (benar ejaan, punya arti, dan enak dibaca).
2. Penyuntingan Secara Substansial
Penyuntingan ini dilakukan dengan memperhatikan data dan fakta agar tetap akurat dan benar. Isi tulisan mudah dimengerti. Sistematika harus tetap terjaga.
Menyunting bukan sekadar memotong tulisan agar pas dengan space, tapi juga membuat tulisan yang enak dibaca dan menarik, and tidak mempunyai kesalahan factual.
Dalam hal penyuntingan harus melalui proses :
a. Kegiatan Editing
1. Memperbaiki kesalahan-kesalahan faktual.
2. Menghindari kontradiksi dan mengedit berita untuk diperbaiki.
3. Memperbaiki keaslahan ejaan (tanda baca, tatabahasa, angka, nama, dan alamat).
4. Menyesuaikan gaya bahasa dengan gaya surat kabar bersangkutan.
5. Mengetatkan tulisan (meringkas beberapa kalimat menjadi satu atau dua kalimat yang memiliki kejelasan makna serupa).
6. Menghindari dari unsure-unsur penghinaan, arti ganda, dan tulisan yang memeuakkan (bad taste).
7. Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi (missal, anak judul/subjudul).
8. Menulis judul yang menarik.
9. Menulis keterangan gambar/caption untuk gambar/foto dan pekerjaan lain yang bersangkutan dengan cerita yang disunting.
10. Menelaah kembali hasil tulisan yang telah dicetak, mungkin masih terdapat kesalahan secara redaksional dan substansial.
b. Fokus Editor
1. Sadar akan latar belakang para pembaca (umur, taraf hidup, dan gaya hidup) sehingga naskah diharapkan sesuai dengan latar belakang itu.
2. Tegas
3. Memperbaiki tulisan tanpa merusak cara penulis memaparkan pendapatnya.
4. Haiti-hati dengan iklan terselubung yang masuk dalam tulisan.
c. Jiwa Redaktur
1. ilmu jurnalistik.Memiliki wawasan luas
2. Berkepala dingin, sanggup bekerja dalam suasana tergesa-gesa dan rumit, tanpa menderita perasaan tertekan.
3. Cermat, hati-hati, tekun, dan tegas.
4. elihat sesuatu dari sudut pandang pembaca (berorientasi pada kepentingan pembaca)

C. Redaktur
Seorang Redaktur sangat akrab dengan pekerjaan di media massa. Apa dan siapa yang disebut redaktur? Redaktur lazim juga disebut sebagai editor, adalah orang yang melakukan penyuntingan (editing) dan juga melengkapi naskah-naskah berita yang ditulis oleh wartawan atau reporter.
Ada yang mengibaratkan, tugas seorang redaktur mirip seorang koki masakan. Bahan-bahan yang dikumpulkan seorang wartawan di lapangan, diedit, diolah, ditambahi atau dikurangi seorang redaktur, persis seperti orang mengolah masakan sehingga berita yang disajikan jadi menarik, enak dibaca dan mudah dimengerti.
Redaktur umumnya berasal dari reporter lapangan yang dalam karirnya kemudian naik menjadi redaktur muda, madya dan kemudian redaktur kepala atau re-daktur bidang, yakni yang membawahi bidang tertentu (seperti politik, pertahanan keamanan, ekonomi, perkotaan, hukum kriminal, olahraga) atau halaman tertentu di media cetak.
Redaktur yang cemerlang karirnya bisa diangkat men-jadi Redaktur Pelaksana ataupun Redaktur Eksekutif, yakni orang yang memimpin pelaksanaan harian operasi sebuah redaksi media cetak ataupun elektronik.
Dalam jurnalisme elektronik, istilah redaktur lebih sering disebut editor. Di sini editor ditujukan kepada orang yang melakukan penyuntingan gambar video baik untuk keperluan berita maupun produksi program televisi lain-nya. Editor jenis ini juga disebut sebagai tape editor atau pun audio-visual editor.
Pada perkembangannya, media cetak pun menggunakan istilah editor untuk merujuk pada posisi redaktur ini. Istilah editor diserap dari bahasa Inggris, sementara redaktur merupakan serapan dari bahasa Belanda, redacteur.
1. Cara Kerja Seorang Redaktur
Tugas editing (penyuntingan) yang dihadapi redaktur di daerah cukup berat. Selain karena kualitas sumber daya (terutama reporter) terbatas, beberapa media sahamnya juga memiliki Pemda setempat. Dengan be-gitu, tantangan yang dihadapi bukan saja bagaimana menyajikan berita semenarik mungkin, tapi juga bagai-mana menjaga agar redaksi tetap independen.
Proses editing sangat penting peranannya dalam me-nentukan kualitas kerja redaksi, karena mutu produk akhir yang disajikan kepada pembaca (baik berupa be-rita, foto, grafis, dan lain – lain) yang dimuat dikoran diten-tukan pada tahapan ini. Karena itu, proses editing ini di-serahkan kepada wartawan yang sudah senior, berpengalaman, dan berwawasan.
Editing dimaksudkan untuk mengetahui antara lain apakah:
1. berita itu layak dimuat misalnya, memenuhi standar rukun iman berita atau layak berita).
2. Fakta yang terkandung dalam berita itu sudah benar.
3. Ditulis dengan baik (berbahasa Indonesia dengan benar, tuli-sannya runtut dan menarik, bisa dipahami oleh pembaca dan lain – lain).
4. Memenuhi standard moral (seimbang, coverage both side, tak melanggar kode etik).
5. Dipero-leh lewat prosedur yang benar, serta memprediksikan seberapa jauh dampak pengaruh berita itu bagi media yang bersangkutan (misalnya untuk berita – berita yang agak menyerempet bahaya kepihak ketiga).
Deskripsi diatas menunjukkan bahwa tugas seorang redaktur yang melaksanakan tugas editing cukup berat. Sebab, seperti yang terjadi di beberapa media, redaktur juga punya tugas harian lainnya, seperti ikut merencanakan berita, fungsi koordinasi liputan, pengarah tata letak dan lain –lain. Untuk itu perlu kiranya redaktur memperhatikan hal-hal dibawah ini. Yaitu :
a. Keseimbangan
Akhir – akhir ini ada kecenderungan para pekerja pers agak berani melanggar “kode etik”. Misalnya memuat berita yang sepihak sehingga merugikan pihak lain. Bia-sanya hal ini karena ketidakperdulian/kemalasan untuk mendorong wartawan melengkapi sumber beritanya.
Berita di boks kiri bawah Metropolis tentang wanita, sungguh pun digemari para pembaca, rawan komplain. Sebab, seringkali berita itu didapat secara sepihak (bah-kan seringkali daripengacara sang klien), tanpa ada upaya menghubungi pihak “lawan” dari klien pengacara tersebut.
Yang juga sering mendapat komplain adalah mem-bawa – bawa nama lembaga yang tak terkait langsung dari pelaku atau korban kriminal. Contoh terbaru adalah kasus Kepala Bagian Keuangan Unair yang menjadi ter-sangka penipuan puluhan juta. Demikian pula tentang istri kepala capem BCA yang dibantai perampok, karya-wan BTN yang meninggal di kamar rumah karyawati Bank Aspac dan lain –lain.
Menurut hemat saya, kita boleh menyebut identitas tersangka/korban dengan kelembagaan tertentu yang tak terkait langsung pada isi berita, bukan pada judul.
b. Akurasi
Masalah akurasi akhir – akhir ini juga sering dilupakan. Mulai dari yang kecil – kecil seperti soal nama orang, tempat kejadian, penulisan ejaan, jabatan, bahasa asing/daerah, sampai salah kutip pernyataan atau salah per-sepsi. Sebagai contoh, pernah terjadi wartawan salah menulis pernyataan H Roeslan Abdulgani soal temannya seperjuangan. Waktu itu disebutkan nama Soemitro Djo-johadikusumo tapi ditulis Soebandrio (tokoh PKI). Seo-rang wartawan senior dari Straits Times menyebut bahwa sarat bagi sebuah berita itu adalah akurasi, akurasi dan akurasi.
c. Pra Editing
Yang jadi persoalan sehari – hari bagi redaktur dalam mengedit berita adalah terbatasnya waktu. Pada ha-laman ekonomi bisnis, misalnya wartawan umumnya baru datang ke kantor pukul 16.00 sementara deadline pukul 22.00. pada waktu yang sesingkat itu redaktur harus mengedit enam atau delapan berita, menyiapkan foto, mengatur tata letak, dan lain – lain.
Karena itu kedatangan redaktur lebih awal ke kantor untuk memonitori “listing” berita hari itu sangat penting. Sebab, ini sangat membantu redaktur untuk membuat “pra editing” seperti menentukan berita utama (opening) hari itu, pengaturan foto, termasuk pemilihan angle dan teras berita yang pas.
Proses pra-editing ini ternyata sangat perlu, Karena dengan persiapan yang cukup maka kita jadi punya per-siapan waktu dan materi yang cukup untuk membuat edi-ting berita dengan baik, mengatur foto, membuat grafis, dan lain – lain. Yang juga tak kalah penting adalah mem-perkaya “berita” itu dengan referensi lain yang mungkin tak diperoleh wartawan.
d. Format Penulisan
Bahasa pers memiliki safat khas yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, dan menarik. Meski demikian, bahasa pers sebagai salah satu ragam Bahasa Indo-nesia harus taat pada kaidah, ejaan yang benar, serta bahasa baku (yang paling banyak dipakai oleh lapisan masyarakat, baik dalam bahasa tulis maupun lisan). Yang juga harus diingat bahwa per situ dibaca oleh segala lapisan, baik strata pendidikan maupun ekonomi, Karena itu bahasa dan istilah yang dipakai wartawan harus bisa dimengerti oleh segala lapisan.
Itu sebabnya, istilah – istilah rumit pada berita eko-nomi, hukum, kesehatan, dan lain – lain mestinya harus dijelaskan. Demikian juga sebisa – bisanya pemakaian bahasa asing dibatasi sesedikit mungkin.
Beberapa nasihat untuk tulisan berita yang baik : kalimatnya pendek – pendek, mengalir (logis) dan jernih, menggunakan kalimat aktif, bukan pasif. Sebaliknya tulisan yang sulit dipahami pembaca adalah yang kalimat dan alineanya panjang – panjang, memakai ba-nyak istilah teknis, asing dan bahasa daerah.

D. Deskripsi Kerja
Tugas editor adalah editing –mengedit, menyunting, yakni proses penentuan, seleksi, dan perbaikan (koreksi) naskah yang akan dimuat atau dipublikasikan. Di media massa, editing adalah tugas redaktur.
Dalam proses penulisan naskah berita, editing merupakan bagian dari aktivitas pengolahan hasil liputan (news processing) setelah melewati tahap news planning (perencanaan berita), news gathering (peluputan peristiwa di lapangan), dan news writing (penulisan bahan-bahan berita menjadi sebuah tulisan berita).
1. Tujuan Editing
a. Memperbaiki struktur kalimat yang ruwet agar lebih lancar dan komunikatif,
b. Menjaga agar isi naskah dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan visi dan misi redaksi, serta menarik perhatian pembaca/audience.
c. Menyesuaikan naskah dengan gaya media bersangkutan, standar bahasa serta kelayakan naik cetak (fit to print) atau kelayakan siar (fit to broadcast).
2. Detil Editing: Teknis
a. Mencari kesalahan-kesalahan faktual dan memperbaikinya, di antaranya kekeliruan salah tulis tentang nama, jabatan, gelar, tanggal peristiwa, nama tempat, alamat, dan sebagainya.
b. Memperbaiki kesalahan dalam penggunaan tanda-tanda baca.
c. Tegas dalam hal-hal seperti penggunaan huruf besar dan singkatan, penggunaan gelar, tanda baca, ejaan, tata bahasa, pemilihan jenis huruf untuk judul, dsb.
d. Mengetatkan tulisan atau menyingkat tulisan sesuai dengan ruang yang tersedia, termasuk membuang atau memotong (cutting) paragraf yang tidak penting.
e. Mengganti kata atau istilah yang tidak memenuhi prinsip ekonomi kata.
f. Melengkapi tulisan dengan bahan-bahan tipografi, seperti anak judul (subjudul), di mana diperlukan.
g. Menulis atau menentukan judul dan lead atau teras berita jika dipandang perlu.
h. Di beberapa suratkabar, editing juga termasuk menulis caption (keterangan gambar) untuk foto dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan cerita yang disunting itu.
3. Detil Editing: Non-Teknis
a. Memperhatikan apakah naskah berita sudah memenuhi nilai-nilai jurnalistik dan kriteria layak muat —aktual, faktual, penting, dan menarik.
b. Meneliti apakah naskah berita sudah menaati doktrin kejujuran (fairness doctrine) serta asas keberimbangan (cover both side). Jika belum, tugaskan kembali reporter untuk memenuhinya.
c. Memperhatikan apakah opini, interpretasi, atau penilaian wartawan lebih menonjol daripada fakta hasil liputan.
d. Menjaga jangan sampai terjadi kontradiksi dalam sebuah naskah.
e. Menjaga jangan sampai terjadi penghinaan, arti ganda, dan tulisan yang memuakkan (bad taste).
f. Sadar mengenai sifat-sifat umum tentang umur, taraf hidup, dan gaya hidup para pembaca utama korannya, dan menyunting naskah sesuai dengan sifat umum tersebut.
g. Memperbaiki tulisan opini (artikel) dengan segala upaya tanpa merusak cara penulisnya menyatakan pendapatnya. Karenanya, redaktur harus membaca lebih dahulu seluruh cerita/naskah untuk mendapatkan pengertian penuh tentang apa yang berusa dikatakan oleh si penulis.
h. Menjaga masuknya iklan terselubung sebagai berita. Dengan demikian, editing tidaklah semata-mata memotong (cutting) naskah agar sesuai atau pas dengan kolom yang tersedia, akan tetapi juga membuat naskah enak dibaca, menarik, dan tidak mengandung kesalahan faktual. Ia mengubah redaksional naskah tanpa mengubah makna atau substansinya. Jika perlu, editor melakukan penulisan ulang (rewriting).
4. Kelengkapan Editor
a. Style Book –buku pedoman gaya bahasa khas media tempat editor bekerja.
b. Kamus Bahasa.
c. Kamus singkatan (akronim).
d. Peta.
e. Buku biografi tentang tokoh-tokoh ternama.
f. Ensiklopedi.
g. Buku telefon.
h. Buku atau koleksi ucapan atau pepatah terkenal.
5. Syarat Editor
Dikemukakan mantan Pemimpin Redaksi Harian Times London, Harold Evans, dalam buku Newsman’s English: a)Berwawasan luas, b)Berkepala dingin, c)Sanggup bekerja dalam suasana tergesa-gesa dan rumit tanpa menderita perasaan tertekan, d)Cermat, e)hati-hati, f)tekun, g)Tegas, h)Melihat dari sudut pandang pembaca.


F. Foto Jurnalistik
Foto jurnalistik adalah membuat berita dengan menggunakan foto sebagai media informasi. Fotojurnalistik mengajak kita melihat sesuatu yang tidak biasa kita lihat, seperti membawa kita ke tempat yang tidak pernah didatangi.
Penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Kalau kita melihat surat kabar maka yang kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya.
Foto pada hakekatnya punya kelebihan dari media oral. Selain mudah diingat, foto juga mempunyai efek ketiga yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan inspirasi yang melihatnya.
Pada saat seseorang memutuskan belajar fotojurnalistik, dia akan masuk ke sebuah daerah dimana terdapat sebuah tradisi kuat untuk menyampaikan ‘sesuatu’-berita kepada orang lain-publik. Seperti yang dilakukan oleh fotografer seni, seorang wartawan foto harus mempunyai sentuhan artistik untuk menghasilkan image yang menyengat
Foto jurnalistik pada dasarnya adalah bercerita atau melaporkan suatu kejadian atau kenyataan dengan menggunakan medium foto. Seperti juga pelaporan dalam bentuk tulisan, maka pada foto pun berlaku bahwa yang kita sampaikan lewat foto haruslah jelas dan mudah dimengerti. Patokan 5W + 1H wajib dalam setiap melakukan pemotretan,
- What … Apa
- Who …. Siapa
- Why …. Mengapa
- Where.. Dimana
- When …Kapan
- How.. Bagaiman
Foto tanpa keterangan yang lengkap bisa menjadikan foto itu tidak mempunyai arti apa-apa. Untuk sebuah foto jurnalistik ,foto yang baik dan mempunyai isi, lebih menarik dari sekedar foto yang indah. Foto digunakan untuk mengkomunikasikan apa yang dilihat, dicatat, dan dirasakan dan ingin dikomentari oleh pewarta foto kepada pembaca.
Bapak Jurnalistik AS, Prof. Clifton Edom dalam bukunya yang berjudul “ Photojurnalism, Priciples and Practices” menegaskan, “Seorang fotojurnalis pertama-tama adalah seorang wartawan. Mereka harus selalu memotret langsung di jantung peristiwa yang tengah panas-panasnya, mereka tidak bisa menciptakan foto dengan hanya mengangkat telefon. Mereka adalah mata dunia, dan selalu harus bisa melihat dari dekat apa yang terjadi dan melaporkannya”. Jadi menurut Bruce Baumann, penyunting senior dari Pittsburg press , “ Hal terpenting bagi seorang fotojurnalis adalah berfikir bahwa ia adalah seorang wartawan, yang kedua baru ia bertindak sebagai fotografer”.
Di medan liputan yang berkaitan dengan kekerasan, peperangan dan panggung-panggung yang eksplosif , fotojurnalis mempertaruhkan hidupnya, seperti: Robert Capa, Werner Bischop, Larry Burrows, Dickey Chappelle, David “Chim” Seymour, Eugene Smith, Willie Vicoy dan terakhir Ken Oosterbrock, menebus nyawanya dalam pengabdiannya pada fotojurnalistik.
Pada prinsipnya fotojurnalistik adalah salah satu alat untuk mengkomunikasikan atau menginformasikan ‘sesuatu’ kepada yang lainnya, sama seperti yang dilakukan oleh wartawan tulis di sebuah media cetak. Hanya saja mediumnya lain, yaitu visual. Sebagai alat informasi tentu saja perannya banyak ; bisa untuk memperbaiki sesuatu, atau memperburuk sebuah situasi. Foto seperti halnya tulisan, bisa dipergunakan untuk membentuk opini publik, tergantung siapa yang mempublikasikannya. Bisa menjadi alat propaganda, mengajak orang untuk berbuat baik atau merusak
1. Karateristik Fotojurnalistik
Wilson Hicks dalam bukunya menjabarkan 7 karateristik khas dalam salah satu cabang dalam ilmu komunikasi tersebut sebagai berikut :
a. Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks dan gambar adalah mutlak. Foto berita dapat mengungkapan cara pandang terhadap subjeknya, pesan yang disampaikan lebih penting dari pada sekedar ungkapan pribadi. Caption sangat membantu suatu gambaran bagi masyarakat. Bahkan foto esai pun memerlukan caption.
b. Medium fotojurnalistik biasanya tercetak, bisa di media cetak, kantor berita, Koran atau majalah, tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan keberadaan foto penerangan yang muatanya adalah kisah sukses dan positif, maka informasi yang disebar dalam fotojurnalistik adalah sebagaimana adanya, disajikan sejujur-jujurnya.
c. Lingkup fotojunalistik adalah manusia. Itu sebabnya fotojurnalis harus mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya berada puncak piramida sajian dan pesan visual.
d. Bentuk liputan fotojurnalistik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seseorang fotojurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita itu sendiri.
e. Fotojurnalistik adalah fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa diekspresikan seorang fotojurnalis melalui subjeknya.
f. Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik. Gaya pemotretan yang khas, Bahkan dengan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan harus komunikatif bagi semua lapisan masyarakat.
g. Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual luas, populis, arif, jeli dalam menilai karya foto yang dihasilkan, serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, saran-saran hingga meminta dilakukan suatu pengambilan gambar ulang jika kurang layak siar.
Di samping itu, seluruh kategori tersebut memiliki sisi lain dari cara pengambilannya. Dalam hal ini membuat gambar dengan pendekatan foto feature atau foto-foto humanis, yang kesannya lebih dalam - gaya personal lebih menonjol - tidak sekedar memotret peristiwa namun pada merekam kondisi di balik peristiwanya.
2. Metoda EDFAT
Untuk memilih tindakan dalam kaitan mendapatkan foto jurnalistik sebagai pilihan profesi, maka metode yang diperkenalkan “Walter Cronkite School of Jurnalism and Telecommunication Arizona State University” sebagai metoda EDFAT yang mungkin tepat digunakan sebagai pembimbing dalam setiap penugasan ataupun mengembangkan suatu konsep fotografi pribadi.
EDFAT adalah metoda pemotretan untuk melatih cara pandang melihat sesuatu dengan detil yang tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur dari metoda itu adalah sesuatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa yang mempunyai nilai berita. Meliputi:
a. ENTIRE (E) . Dikenal juga sebagai established shot, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat suatu suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain untuk mengintai bagian-bagian untuk dipilih sebagai objek.
b. DETAIL (D). Suatu pilihan atas bagian tertentu dari keseluruhan pandangan terdahulu (entire), tahap ini adalah suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai tepat sebagai “point of interest”nya.
c. FRAME (F). Suatu tahap dimana kita membingkai suatu detil yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang calon foto jurnalis mengenal arti komposisi, pola, tekstur dan subjek pemotretan dengan akurat. Rasa artistik semakin penting dalam tahap ini.
d. ANGLE (A). Tahap dimana sudut pandang menjadi dominan, memotret dari ketinggian, bawah, atau sejajar pandangan mata.
e. TIME (T). Tahap penentuan penyinaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan. Pengetahuan teknis atas keinginan membekukan gerakan atau memilih ruang tajam adalah salah satu persyaratan yang sangat diperlukan.
Kebanyakan media massa cetak mempunyai lebih banyak wartawan tulis dari pada wartawan foto. Dari sumber yang mereka miliki banyak berita dikembangkan, ketika redaktur menyetujui usulan penulisan berita, biasanya wartawan tulis mengusulkan permintaan foto. Untuk pewarta foto, kunci untuk melakukan peliputan yang baik tergantung dari informasi dan perencanaan dari permintaan foto tersebut, termasuk di dalamnya nama atau peristiwa yang akan difoto waktu dan tempat, mungkin juga nomor telefon sumber kalau ada perubahan yang mendadak.
Diskusi pewarta foto dan wartawan tulis,
Kalau keadaan memungkinkan, wartawan tulis, pewarta foto dan redaktur yang bersangkutan bertemu sebelum menjalankan penugasan untuk berdiskusi. Keuntungannya selain pewarta foto mengetahui permasalahan yang akan dihadapi ialah pewarta foto dapat mengusulkan visualisasi yang menggambarkan cerita tersebut, apakah itu foto candid, potrait, foto ilustrasi, dan juga dapat memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapat gambar tersebut.
















BAB III
KESIMPULAN

Menyunting adalah membuat perubahan, baik dari sisi substansi maupun sisi kemasan, bahkan termasuk mengubah banyak subjek yang terlibat, seperti penulis, penerbit, dan pembaca. Karena itu, para penyunting juga merupakan agen perubahan dan ia harus bisa memosisikan diri dengan baik.
Ada dua proses penyuntingan. Meliputi :
1. Penyuntingan Secara Redaksional
Kegunaan dari penyuntingan ini agar naskah lebih logis, mudah dipahami, dan tidak rancu (benar ejaan, punya arti, dan enak dibaca).
2. Penyuntingan Secara Substansial
Penyuntingan ini dilakukan dengan memperhatikan data dan fakta agar tetap akurat dan benar. Isi tulisan mudah dimengerti. Sistematika harus tetap terjaga.
Redaktur lazim juga disebut sebagai editor, adalah orang yang melakukan penyuntingan (editing) dan juga melengkapi naskah-naskah berita yang ditulis oleh wartawan atau reporter.
Tugas editor adalah editing –mengedit, menyunting, yakni proses penentuan, seleksi, dan perbaikan (koreksi) naskah yang akan dimuat atau dipublikasikan. Di media massa, editing adalah tugas redaktur.
Dalam proses penulisan naskah berita, editing merupakan bagian dari aktivitas pengolahan hasil liputan (news processing) setelah melewati tahap news planning (perencanaan berita), news gathering (peluputan peristiwa di lapangan), dan news writing (penulisan bahan-bahan berita menjadi sebuah tulisan berita).
DAFTAR PUSTA

• A M Dewabrata, “Kalimat jurnalistik: panduan mencermati penulisan berita”, Kompas, 2004
• Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan, Baticpress Bandung, Cet. III, 2003.
• Atok Sugiarto. “Indah Itu Mudah”. Gramedia Pustaka Utama
• Chip Scanlan, “The Power of Editing”, The Poynter Institute/Poynteronline.
• Djaf̕ar H. Assegaff , “Jurnalistik masa kini: (pengantar ke praktek kewartawanan)”, Ghalia Indonesia, 1983.
• Ras Siregar, “Bahasa pers, bahasa Indonesia jurnalistik: kerangka teori dasar”, Grafikatama Jaya, 1992
• Septiawan Santana Kurnia. “Jurnalisme kontemporer”. Yayasan Obor Indonesia, 2005.
• Pamusuk Eneste. “Buku pintar penyuntingan naskah”. Gramedia Pustaka Utama, 2005.
• Pangesti Wiedarti, dkk. “Menuju budaya menulis: suatu bunga rampai” Tiara Wacana, 2005.
• Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. “Kamus istilah jurnalistik”. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985